Sebait Kata
Inni taraktu fikum amraini idza tamassaktum bihima lan tadlillu abada,
kitabullahi wasunnati. Begitulah Nabi berwasiat di akhir hayatnya kepada
para sahabat. Agar kitab ini benar-benar dijadikan pedoman dan dasar pijakan di setiap langkah sehari-hari
mereka. Mengingat Muhammad adalah Nabi terahir dan al-Quran telah menyempunakan
kitab-kitb terdahulu, tentu al-Qur’an tidak hanya diwasiatkan kepada para sahabat
saja. Akan tetapi kita sebagai ummatnya,
pemeluk agama Islam juga berkewajiban
berpegang teguh dan berpedoman kepada al-Qur’an dan hadits yang diwasitkan beliau.
Al-Qur’an yang
diturukan empat belas abad yang lalu dengan berbahasa Arab ditambah dengan
keterbatasan teks yang terdapat di dalam al-Qur’an, menuntut kita untuk selalu mengartikan
dan menginterpretasi kitab al-Qur’an ini (baca Nasr Hamid Abu Zaid). Sehingga
tak ayal apabila mulai sedia kala Nabi wafat hingga berbagai kalangan
cendekiawan muslim hari ini tidak pernah mendapati titik finalnya di dalam
menafsiri al-Qur’an. Diatara dari mereka ada yang melakukan penafsiran terhadap
poin-poin pentingnya saja yang dikira pentikng dan dibutuhkan (tematik/maudlu’i).
namun demikian banyak juga di antara mereka yang menafsiri al-Qur’an secara
kekseluruhan.
Secara pasti Tafsir tidak ada yang berpredikat benar mutlak
dan bahkan absolut. Selurutmufassir tidak berani mengaku dirinya yang paling
benar. Sebab tafsir hanyalah konklsi terhadap praduga dan pendekatan yang
dilakukan mufassir erhadap ayat nitu sendiri. Sedhingga masih bisa diampuni
jika di dalam perjalannya tafsir terjadik
perselisihan dan perbedaan. Namun yang salah apabila di antarapara
mufassir saling mnyalahkan dan menghujat satu sama lain, seperti halnya
Zamahsyari yang sangat bertentangn dengan mu’tazilah. Attabari rela mati
mempertahankan tafsirnya. Begitu pula dengan ar-Razi yang merupakan aliran
rasional teologis juga mengurai panjang lebar ayat-demi ayat di dalam
al-Qur’an. Sehingga dikatakan dalam
sebuh riwayat bahwa di dalam tafsir Mafatihul Ghaib semua ilmu
pengetahuan dapat di temui di dalamnya kecuali tafsir itu sendiri.
Ar-Razi yang merupakan kesarjana musim abad ke-6 telah merangkul
semua pendapat para sahabat, para tabiin, tabit tabiin hingga para ulamak di
dalam tafsirnya tersebut, danb lalu dijelaskan secara terperinci sehingga pada
akhirnya ia menentukan sikap kepada siapa ia akan berpihak. Ini yang merupakan
salah satu keunggulan Mafatihul Ghaib ketimbang tafsir-tafsir yang lain.
Ar-Razi tidak hanya mengakomodir pendapat orang lain, akan tetapi karena ia
kesarjana Islam yang filsuf, setiap al-Qur’an pasti di ikuti dengan pemahaman
sescara rasional.
Ignaz Golzihar menyebutnya sebagai mufassir terakhir yang
kridebilitas karyanya dapat dipertanggungjawabkan, otentik[1]. Walau
demikian ar-Razi masih mendapat kritik dari berbagia kalangan lantaran
tafsirnya terlalu ngalur ngidul. Sehingga pokok bahasan setiap ayat menjadi
kabur. Ia terlamau banuyak mencantumkan pendapt ulama’ dari segala aliran. Ia
pun juga mengkaji al-Qur’an dari berbagai sudut pandang, linguistic, nahwiyah,
fiqhiyah, ushuliyah dan lain sabagainya.
Abstrak
Berbicara tentang Al Quran, berarti
membahas tentang suatu kitab yang suci nan sakral. Al Quran sebagai rahamat
linnas wa rahmatal lil ‘alamiin, menjadikan kitab suci ini sebagai landasan
dan huda dalam menapak jejak kehidupan di dunia ini. Dalam Al-Quran yang
menjadi mukjizat Rasulullah Saw, di dalamnya banyak terkandung hikmah dan
interpretasi yang luas, sehingga ketika membaca Al Quran maka kita akan
mendapatkan makna-makna yang lain ketika kita membacanya lagi. Inilah yang
menjadikan Al Quran terasa nikmat ketika dibaca dan terasa tenang dihati ketika
mendengarnya, walaupun yang mendengarnya itu seorang ‘Ajami yang tidak
paham bahasa Al Quran.
Dalam bermuamalah dengan Al Quran,
terkadang kita mendapatkan ayat-ayat yang sulit untuk dipahami maksudnya. kita
memerlukan sebuah perangkat untuk memahami kandungan Al Quran, yang kita kenal
dengan istilah tafsir. bahkan sahabat nabi terkadang masih sulit untuk memahami
Al Quran. Sehingga ketika para sahabat tidak mengetahui makna atau maksud
suatu ayat dalam Al Quran, mereka langsung merujuk kepada Rasulullah dan
menanyakan hal tersebut.
Sebagai umat Islam yang baik,
tentunya kita tidak pernah luput dalam bersentuhan dengan Al Quran, setidaknya
dengan senantiasa membacanya.Namun apakah cukup hanya dengan membacanya saja?
tentunya untuk meningkatkan kualitas kita dalam bergaul dengan Al Quran, dan
untuk merasakan mukjizat Al Quran lebih dalam, adalah disamping kita
membacanya, kita juga membaca dan menelaah tafsir-tafsir sebagai bayan
atau yang menjelaskan dari Al Quran itu sendiri.
Salah satu jalan yang ditempuh dalam
bergelut dalam dunia tafsir, setidaknya dengan mengetahui pengarang dan
metodologi yang dipakai dalam menginterpretasi Al Quran.Pada makalah yang
singkat ini, penulis mencoba memaparkan salah satu mufassir terkenal, mufassir
yang keilmuannya tidak ada yang menandingi pada zamannya, dialah Fakhruddin Ar
Razi.
Biografi Fakhruddin Ar-Razi
Nama lengkap beliau Abu Abdillah,
Muhammad bin Umar bin Alhusain bin Alhasan bin Ali, At Tamimi, Al-Bakri
At-Thabaristani Ar Rozi. Beliau dijuluki sebagai Fakhruddiin (kebanggaan
Islam), dan dikenal dengan nama Ibnu Al khatiib, yang setia menganut madzhab
Syafi’i. Beliau dilahirkan pada tahun 544 H di kota ar-Ray[2].
Imam Fakhruddin Ar-Razi tidak ada
yang menyamai keilmuan pada masanya, ia seorang mutakallim pada
zamannya, ia ahli bahasa, ia Imam tafsir dan beliau sangat unggul dalam
berbagai disiplin ilmu. Sehingga taka ayal apabila semasa hidupnya banyak berdatangan
orang-orang yanghendk berguru kepada beliau dari berbaai penjuru negeri, untuk menimba
sebagian dari keluasan ilmu beliau. Di dalam memberikan hikmah, fatwa dan
berbagai pelajaran, beliau menggunakan bahasa arab dan bahasa asing.
Usia mudaya ia gunakan dengan baik
untuk belajar berbagai besik ilmu pengetahuan kepada ayahandanya sendiri Saikh
Dliyauddin Umar. Beliau banyak belajar ilmu kalam kepada Majdi al-Jili yang
merupakan salah satu murid Imam al-Ghazali. Belajar ilmu Ushul kapada ayahnya.
Ayahandanya mendapatkan pelajaran dan pengetahuan ilmu Ushul ini dari Abi
al-Qasim Sulaiman bin Nasir al-Anshari. Dalam bidang ini beliau juga belajar
benyak kepada Imam Haramain Abi al-Ma’ali.
Kepada ayahandanya pula beliau
belajar ilmu fiqih, yang didapat dar Qadli Husain al-Maruzi, dari al-Qafal
al-Maruzi, dari Abu Zaid al-Maruzi, dari Abu Ishaq al-Maruzi, dari Abu Abbaz
al-Zuraij (Ahmad bin Umar), dari Abu al-Qashim al-Anmathi, dari Ibrohim al-Muzni
yang belajar kepada al-Imam asy-Syafi’i.[3]
Fakhruddin al-Razi hidup pada paruh
kedua abad ke-enam hijriyah. Pada masa ini umat muslim berada
dalam kemelut
politik, permasalahan kebangsaan, gugatan ilmu pengetahuan dan goncangan aqidah
yaitu pada masa kemunduran daulah abbasiyah. Sedang madzhab negara yang
digunakan secara resmi pada masa itu adalah Syafiiyah, Hanafiyah dan Syiah.
Pada masa ini juga terjadi
gonjang-ganjing akidah di antara berbagai sekte, terlebih Syiah, Mu’tazilah,
Murjiah, aliran kebatinan dan kurrasiyah. Pergulatan akidah ini Ignaz Golzihar
memarkan dengan begitu jelas di dalam Madzahibuttafsirnya. Sehingga sempat
terjadi pembunuhan terhadap at-Tabari pada beberapa tahun sebelumnya dan pengkafiran
Zamahsyari di dekat-dekat waktu tersebut.[4]
di antaranya Ia juga seorang dokter pada
zamannya. Imam Fakhruddin telah menulis beberapa komentar terhadap buku-buku
kedokteran. Pada usia 35 tahun, ia telah menerangkan bagian-bagian yang sulit
dari al-qanun fi al-tibb kepada seorang dokter terkemuka di Sarkhes,
yaitu Abd al-Rahman bin Abd al-Karim.
Imam Fakhruddin Ar Razi wafat pada
tahun 606 H. Dikatakan beliau meninggal, ketika beliau berselisih pendapat
dengan kelompok Al-Karamiah tentang urusan aqidah, mereka sampai mengkafirkan
Fakhruddin Ar Razi, kemudian dengan kelicikan dan tipu muslihat, mereka
meracuni Ar Razi, sehingga beliau meninggal dan menghadap pada Rabbi Nya.
Karya-karya Imam Fakhruddin Ar Razi
Imam Fakhruddin Ar Razi menguasai
berbagai bidang keilmuan seperti al-Qur’an, al-Hadits, tafsir, fiqh, usul fiqh,
sastra arab, perbandingan agama, filsafat, logika, matematika, fisika, dan
kedokteran. Selain telah menghafal al-Qur’an dan banyak al-Hadits, Fakhruddin
al-Razi telah menghafal beberapa buku seperti al-Shamil fi Usul al-Din,
karya Imam al-Haramain, al-Mu‘tamad karya Abu al-Husain al-Basri
dan al-Mustasfa karya al-Ghazali. Intelektual sezaman dengan Fakhruddin
al-Razi; di antaranya Ibn Rushd, Ibn Arabi, Sayfuddin al-Amidi dan
Al-Suhrawardi.
Kecerdasan dan keilmuan beliau
sangat tinggi, berbagai macam ilmu dipelajari dan dikuasainya, hal itu bisa
dibuktikan dengan kitab-kitab karangan beliau, yang terdiri dari berbagai macam
disiplin ilmu pengetahuan, dan tak heran jika Ibnu Katsir dalam bidayah wan
nihayahnya menyebutkan, bahwa karya tulis beliau mencapai sekitar dua
ratusan buku. Dan kini karangan-karangan beliau tersebar diseluruh Negara,
diantaranya adalah:
At Tafsir Al Kabiir atau yang kita kenal dengan Mafaatihul Gaib.
- Al arba’in fi ushuluddiin
- Ahkamul qiyaasi As syar’i
- Al mahsul fi ilmi usul fiqh
- Mukhtashar akhlak
- Al mantiqul kabiir
- Tafsir Al-Fatihah
- Tafsir Surah Al-Baqarah ala Wajhi Aqli la Naqli
- Tafsir Mafatihul Ulum
- Nihayatul Uqul fi Dirayatil Ushul
- Ta’sisut Taqdis
- Tahshilul Haq
- Al-Khamishin fi Ushuliddin
- Ishmatul Anbiya’
- Hudutsul Alaam
- Sarh Asmaulllah Al-Husna
- AL-Muhshil fi Ilmil Kalam
- Thariqah fil Kalam
- Az-Zubdah fi Ilmil Kalam
- AL-Mulakhash fil Falsafah
- Lubabul Isyaraat
- Mabahitusl Jidal
- Sarh Nahjul Balaghah
- Al-Muharrar fi Haqaiqin Nahwi
- Manaqib Imam Syafi’i
Dan masih banyak lagi
karangan-karangan beliau yang penulis tidak bisa sebutkan disini.
Setidaknya kita bisa mengambil contoh dari kehidupan Intelektual Imam
Fakhruddin Ar-Razi yang mampu menulis banyak karya. 6 karya dalam ilmu Tafsir,
20 karya dalam ilmu Kalam, 9 karya dalam bidang filsafat, 6 karya dalam ilmu
Filsafat dan Kalam, 5 karya dalam Logika, 2 dalam Matematika, 6 karya dalam
ilmu Kedokteran,(48 karya dalam MIPA) 9 karya dalam ilmu Syariah, 4 karya dalam
bidang sastra, dan masih puluhan lagi karyanya dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan lainnya. Masih banyak juga karyanya masih dalam bentuk manuskrip
dan belum dikaji.[5]
Tafsir Mafaihul Ghaib atau yang
dikenal sebagai Tafsir al-Kabir dikategorikan sebagai tafsir bir ra’yi (tafsir
yang menggunakan pendekatan aqli), dengan pendekatan Mazhab Syafi’iyyah dan
Asy’ariyah. Tafsir ini merujuk pada kitab Az-Zujaj fi Ma’anil Quran, Al-Farra’
wal Barrad dan Gharibul Quran, karya Ibnu Qutaibah dalam masalah gramatika.
Riwayat-riwayat tafsir bil ma’tsur
yang jadi rujukan adalah riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Sudai, Said
bin Jubair, riwayat dalam tafsir At-Thabari dan tafsir Ats-Tsa’labi, juga
berbagai riwayat dari Nabi saw, keluarga, para sahabatnya serta tabi’in.
Sedangkan tafsir bir ra’yi yang jadi
rujukan adalah tafsir Abu Ali Al-Juba’i, Abu Muslim Al-Asfahani, Qadhi Abdul
Jabbar, Abu Bakar Al-Ashmam, Ali bin Isa Ar-Rumaini, Az-Zamakhsyari dan tafsir
Abul Futuh Ar-Razi.
Ada riwayat yang menjelaskan bahwa
Ar-Razi tidak menyelesaikan tafsir ini secara utuh. Ibnu Qadi Syuhbah
mengatakan, “Imam Ar Razi belum menyelesaikan seluruh tafsirnya”. Ajalnya
menjemputnya sebelum ia menyelesaikan tafsir Al Kabiir. Ibnu Khulakan
dalam kitabnya wafiyatul a’yan nya juga berkata demikian.Jadi siapa yang
menyempurnakan dan menyelesaikan tafsir ini?dan sampai dimana beliau
mengerjakan tafsirnya?
Ibnu
hajar Al ‘Asqalani menyatakan pada kitabnya ,” Yang menyempurnakan tafsir Ar
Razi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abi Al Hazm Makky Najamuddin Al Makhzumi Al
Qammuli, wafat pada tahun 727 H, beliau orang mesir. Dan penulis kasyfu Ad
dzunuun juga menuturkan,” Yang merampungkan tafsir Ar Razi adalah
Najamuddin Ahmad bin Muhammad Al Qamuli, dan beliau wafat tahun 727 H.
Qadi Al Qudat Syahabuddin bin Khalil Al Khuway Ad Dimasyqy, juga menyempurnakan
apa yang belum terselesaikan, beliau wafat tahun 639 H.
Kemudian, sampai dimana Ar Razi
terhenti dalam menulis tafsirnya? DR. Muhammad Husain Ad Zahabi menjelaskan
pada kitabnya tafsir al mufassiruun,” Imam Fakhruddin telah menulis
tafsirnya sampai surah Al Anbiya, setelah itu datang Syahabuddin Al Khuway
melanjutkan tafsir ini, namun beliau belum menyelesaikan seluruhnya, kemudian
datang Najamuddin Al Qamuli menyempurnakan tafsir Ar Razi. Ad Zahabi juga
mengatakan bisa jadi yang menyelesaikan tafsir Ar Razi sampai akhir adalah Al
Khuway.
Namun, Sayyid Muhammad Ali Iyazi,
dengan merujuk pada keterangan Syaikh Muhsin Abdul Hamid, memberikan
klarifikasi bahwa sekelompok mufasir era belakangan yang meneliti tafsir
ini menetapkan kitab tafsir ini sebagai karya mandiri dari Ar-Razi secara utuh.
Lepas dari polemik di atas, ini
adalah salah satu kitab tafsir bir ra’yi yang paling komprehensif, karena
menjelaskan seluruh ayat Al Quran dengan pendekatan logika. Sang pengarang
berusaha menangkap substansi atau ruh makna yang terkandung dalam teks Al
Quran.
Adapun maksud tafsir ini dan segala
uraiannya, antara lain:
Pertama; menjaga dan membersihkan Al Quran beserta segala
isinya dari kecenderungan-kecenderungan rasional yang dengan itu diupayakan
bisa memperkuat keyakinan terhadap Al Quran.
Kedua; pada sisi lain, Ar-Razi meyakini pembuktian
eksistensi Allah swt dengan dua hal. Yaitu “bukti terlihat”, dalam bentuk wujud
kebendaan dan kehidupan, serta “bukti terbaca”, dalam bentuk Al Quran. Apabila
merenungi hal yang pertama secara mendalam, kita akan semakin memahami hal yang
kedua. Karena itu Ar-Razi merelevansikan keyakinan ilmiyah dengan kebenaran
ilmiyah dalam tafsirnya.
Ketiga; Ar-Razi ingin menegaskan sesungguhnya studi balaghah
dan pemikiran bisa dijadikan sebagai materi tafsir, serta digunakan untuk
menakwil ayat-ayat Al Quran, selama berdasarkan kepada kaidah-kaidah yang
jelas, yaitu kaidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Metodologi dan Sumber Penafsiran Ar-Razi
Manhaj yang digunakan ar-Razi di
dalam kitab Tafsirnya tak ada yang dapat menandinginya. Ia terlebih dahulu
menuturkan tema-tema dan pemikiran secara umum kamudian menjelaskannya dengan
begitu rinci dan membahasnya secara terpisah berdasarkan pendapat berbagai
ulama’. Metode inilah yang menurut Ibnu Khlkan Ar-Razi telah mengumpulkan
berbagai pandangan yang gharib (ابن خلكان-بدون
تاريخ-ج4ص7) Sedang
dalam penjelasan yang lain di akhir komparasinya terhadap berbagai pendapat
lama’ Fiqa Beliau lebih condong
kepada Imam Asy-Syafi’i[6]. memaparkan seluruh pendaat ulamak terkait dengan
dengan satu tema dan permasalahan lalu diklarifikasi satu persatu hingga
menetukan sikap dan kecondongannya adalah kelebihan tersendiri dari metode yang
ia lakukan dibandingkan dengan beberapa para mufassir lainnya[7]. Untuk contohnya bisa di lihat dalam tafsir mafatul ghaib
halaman empat tentang perbedaan pendapat para sahabat dan ulamak mengenai kata الم
Menurut Abu Bakar as-Siddiq di dalam
kitab al-Qur’an terdapat rahasia Tuhan. Dan rahasia tersebut biasanya terdapat
di awal surat. Menurut Ali bin Abi Thalib di dalam kitab al-Qur’an ayat pilihan
yang nterbaik. Dan pilihan ayat terbaik kitab al-Qur’an ini adalah huruf-huruf tahajji.
Dan berbagai pendapat uala’ yang lain hingga menurut asy-Sy’bi ketika
ditanya ia menjawab ini merupakan rahasia Tuhan, maka jangan kau tanyakan dan
menurut Husain bin Fadl ini termasuk dari bagaian ayat mutasyabihat.
Walau demikian kalangan mutakallimin
menentang sema pendapt-pendapat ini. Mereka malah bersikeras bahwa al-Qur’an masti harus dapat dipahami dan dicerna oelh manusia. Sebab
bagi mereka bagaiman manusia bisa mengambil pelajaran dan ibrah dari
al-Qur’an apabila al-Qur’an itu sendiri sudah tidak kbisa di fahami. Pendapat
ini mereka sandarkan pada sebuah Hadits Nabi, إني
تركت فيكم ما إن تمسسكتم بهما لن تضلو كتب الله وسنتي .
Dari sekianpendapat para ulama’ ini
ar-Razi menentukan sikapnya dan mengambil posisi bagaiman ia harus menyikapi
ayat ini. Himngga pada akhirnya ia ia mengokohjkan seuatu pandangan bahwa
sesungguhnya ayat tersebut merupakan mutasyabih. Sedang ayat mutasyabih
tidak dapat diketahui arti hakikatnya. Pendapat ini ia dasarkan kepada ayat
al-Qur’an yang berbunyi وما يعلم تأوله
الا الله lalu
dilanjutkan dengan والراسخون في
العلم يقولوا امن بالله.[8]
Dari ini sudah jelas bahwa metode
penafsiran yang dilakukan ar-Razi di dalam tafsirnya adalah metode komparasi مقرن di antara berbagai pendapat ulama’ lalu diklarifikasi satu
persatu hingga pada akhirnya ia menetukan sikap dan memosisikan diri.
Sedang sumber penafsiran yang ia
gunakan adalah rasionalitas, birra’yi. Hal
ini dapat kita pahami dari seabrek pendapat yang ia suguhkan setiap kali hendak
menafsiri al-Qur’an yang dipaparkan dari berbagai sudut pandang. Walau pada
dasarnya beliau tidak mengesampingkan sumber al-Qur’an itu sendiri, Hadits Nabi
dan Atsar Shahabat. Namun karena pada akhirnya ia mengklarifikasi sumber-sumber
tersebut secara rasional maka jelaslah bahwa sumber penafsiran beliau berupa ra’yi,
rasionalitas.
Corak Penafsiran Ar-Razi
Berbicara corak penafsiran yang beliau
gunakan, hanya akan membuat kita bingung dan tak menemukan pangkal-ujungnya.
Sebab di dalam tafsir Mafatihul Ghaib, beliau telah menyingung segala
aspek ilmu pengetahuan mulai sisi lughaiyah seperti kutipan ayat وادعوا شهداءكم.
Ar-Razi memearkan bahwa arti kata شهداء di dalam lisanul
arab mempunyai banyak makna. Di antaranya orang arab mengartikan مشاهدة
seperti, pertama, unta dan kuda (untuk qurban sebagai persaksian
keimanan seseorang), مشاهدة diartikan tutunan
untuk bersedakah dan menyucikan diri, dan beberapa arti yang nlain yang tidak
dihendaki oleh al-Qur’an. Namun yang dimaksudkan Tuhan dengan dari ungkapan وادعوا شهداءكم adalah bagaiman mereka
(kafir quraisy) meminta bntuan Tuhan-Tuhan mereka selain Allah, Lata Uzza dan
Manash. Beliau begitu
lihai dalam mengurai makna kata yang dikehandaki al-Qur’an[9].
Dari segi nahwiyahnya seperti
di dalam mengatikan kembalinya dlamir pada kata فأتوا بسورة من مثله Menurut pendapat pertama dlamir ‘hi’ kembali pada kata مما نزلن على عبدنا. Artinya datangkanlah satu surat saja
seperti surat yang ada pada hamba kami kebaikannya, majaznya, linguistiknmya
dan semiotiknya. Dan yang kedua kembali pada kata عبدنا.
Artinya datangkanlah atu surat saja dari orang nyangn seperti hamba kami, ummi.
Dan pada akhirnya ar-Razi mengambil pendapat yang pertama sebagai yang paling
benar. Yaitu dlamir ‘hi’ yang dikembalikankepada al-Qur’an.[10]
Selain ar-Razi juga menafsiri dari segi hukum fiqih
yang ada di setiap bahasannya, dia juga menafsiri al-Qur’an dari segi hukum
moral. Di dalam ayat ini saja ar-Razi mengartikan وادعوا شهداءكم kedalam dua
bagian. Pertama, ayat ini menerangkan tertolaknya Tuhan selain Allah
seperti Tuhan-Tuhan yang mereka buat sendiri. Dan yang kedua, menunjukkan
amr ingkari yang menyatakan bahwa selain Allah tidak ada yang bisa
membuat al-Qur’an[11].
Dari pemaparan di atas jelas bahwa
tafsir ar-Razi bercorak kombinasi. Penafsiran yang tidak condong kepada suatu
aspek yang diinginkan saja. Namun, walau demikian bukan berarti tafsir ar-Razi
berupa tafsir yang bercorak umum yang membahas al-Qur’an secara mendasar
keseluruhan.
Sistematika Penafsiran Ar-Razi
Sedangkan sistematika yang digunakan ar-Razi di dalam
menafsiri ayat al-Qur’an adalah diurut sesuai tertib mushaf utsmani. Ar-Razi tidak menafsiri
al-Qur’an secara terpotong-potong dengan mengabil suatu tema lalu dikumpulkan
ayat-ayat al-Qur’an yang bersinggungan dengan tema tersebut. Ini artinya sistematika tafsir ar-Razi
adalah tafsir mushafi. Tafsir yang
diurut dari surat al-fatihah hingga an-nas.
[5] Fakhruddin
Ar-Razi (Mafahimu Al-Tarbawiyyati ‘Inda Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi Min
Khalali Kitabihi), Al-Mamlakatu al-Arabiyyati, 1411-1412 H, hal 29-35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar