Bang Rozi (Sebuah Telaah Tafsir Mafatihul Ghaib) - Sastri Pustaka

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Senin, 31 Oktober 2016

Bang Rozi (Sebuah Telaah Tafsir Mafatihul Ghaib)

Sebait Kata

Inni taraktu fikum amraini idza tamassaktum bihima lan tadlillu abada, kitabullahi wasunnati. Begitulah Nabi berwasiat di akhir hayatnya kepada para sahabat. Agar kitab ini benar-benar dijadikan pedoman dan dasar pijakan di setiap langkah sehari-hari mereka. Mengingat Muhammad adalah Nabi terahir dan al-Quran telah menyempunakan kitab-kitb terdahulu, tentu al-Qur’an tidak hanya diwasiatkan kepada para sahabat saja. Akan tetapi kita sebagai ummatnya, pemeluk agama Islam juga berkewajiban  berpegang teguh dan berpedoman kepada  al-Qur’an dan hadits yang diwasitkan beliau.
Al-Qur’an yang diturukan empat belas abad yang lalu dengan berbahasa Arab ditambah dengan keterbatasan teks yang terdapat di dalam al-Qur’an, menuntut kita untuk selalu mengartikan dan menginterpretasi kitab al-Qur’an ini (baca Nasr Hamid Abu Zaid). Sehingga tak ayal apabila mulai sedia kala Nabi wafat hingga berbagai kalangan cendekiawan muslim hari ini tidak pernah mendapati titik finalnya di dalam menafsiri al-Qur’an. Diatara dari mereka ada yang melakukan penafsiran terhadap poin-poin pentingnya saja yang dikira pentikng dan dibutuhkan (tematik/maudlu’i). namun demikian banyak juga di antara mereka yang menafsiri al-Qur’an secara kekseluruhan.
Secara pasti Tafsir tidak ada yang berpredikat benar mutlak dan bahkan absolut. Selurutmufassir tidak berani mengaku dirinya yang paling benar. Sebab tafsir hanyalah konklsi terhadap praduga dan pendekatan yang dilakukan mufassir erhadap ayat nitu sendiri. Sedhingga masih bisa diampuni jika di dalam perjalannya tafsir terjadik  perselisihan dan perbedaan. Namun yang salah apabila di antarapara mufassir saling mnyalahkan dan menghujat satu sama lain, seperti halnya Zamahsyari yang sangat bertentangn dengan mu’tazilah. Attabari rela mati mempertahankan tafsirnya. Begitu pula dengan ar-Razi yang merupakan aliran rasional teologis juga mengurai panjang lebar ayat-demi ayat di dalam al-Qur’an. Sehingga dikatakan dalam  sebuh riwayat bahwa di dalam tafsir Mafatihul Ghaib semua ilmu pengetahuan dapat di temui di dalamnya kecuali tafsir itu sendiri.
Ar-Razi yang merupakan kesarjana musim abad ke-6 telah merangkul semua pendapat para sahabat, para tabiin, tabit tabiin hingga para ulamak di dalam tafsirnya tersebut, danb lalu dijelaskan secara terperinci sehingga pada akhirnya ia menentukan sikap kepada siapa ia akan berpihak. Ini yang merupakan salah satu keunggulan Mafatihul Ghaib ketimbang tafsir-tafsir yang lain. Ar-Razi tidak hanya mengakomodir pendapat orang lain, akan tetapi karena ia kesarjana Islam yang filsuf, setiap al-Qur’an pasti di ikuti dengan pemahaman sescara rasional.
Ignaz Golzihar menyebutnya sebagai mufassir terakhir yang kridebilitas karyanya dapat dipertanggungjawabkan, otentik[1]. Walau demikian ar-Razi masih mendapat kritik dari berbagia kalangan lantaran tafsirnya terlalu ngalur ngidul. Sehingga pokok bahasan setiap ayat menjadi kabur. Ia terlamau banuyak mencantumkan pendapt ulama’ dari segala aliran. Ia pun juga mengkaji al-Qur’an dari berbagai sudut pandang, linguistic, nahwiyah, fiqhiyah, ushuliyah dan lain sabagainya.
Abstrak
Berbicara tentang Al Quran, berarti membahas tentang suatu kitab yang suci nan sakral. Al Quran sebagai rahamat linnas wa rahmatal lil ‘alamiin, menjadikan kitab suci ini sebagai landasan dan huda dalam menapak jejak kehidupan di dunia ini. Dalam Al-Quran yang menjadi mukjizat Rasulullah Saw, di dalamnya banyak terkandung hikmah  dan interpretasi yang luas, sehingga ketika membaca Al Quran maka kita akan mendapatkan makna-makna yang lain ketika kita membacanya lagi. Inilah yang menjadikan Al Quran terasa nikmat ketika dibaca dan terasa tenang dihati ketika mendengarnya, walaupun yang mendengarnya itu seorang ‘Ajami yang tidak paham bahasa Al Quran.
Dalam bermuamalah dengan Al Quran, terkadang kita mendapatkan ayat-ayat yang sulit untuk dipahami maksudnya. kita memerlukan sebuah perangkat untuk memahami kandungan Al Quran, yang kita kenal dengan istilah tafsir. bahkan sahabat nabi terkadang masih sulit untuk memahami Al Quran. Sehingga ketika para sahabat tidak mengetahui makna atau maksud  suatu  ayat dalam Al Quran, mereka langsung merujuk kepada Rasulullah dan menanyakan hal tersebut.
Sebagai umat Islam yang baik, tentunya kita tidak pernah luput dalam bersentuhan dengan Al Quran, setidaknya dengan senantiasa membacanya.Namun apakah cukup hanya dengan membacanya saja? tentunya untuk meningkatkan kualitas kita dalam bergaul dengan Al Quran, dan untuk merasakan mukjizat Al Quran lebih dalam, adalah disamping kita membacanya, kita juga membaca dan menelaah tafsir-tafsir sebagai bayan atau yang menjelaskan dari Al Quran itu sendiri.
Salah satu jalan yang ditempuh dalam bergelut dalam dunia tafsir, setidaknya dengan mengetahui pengarang dan metodologi yang dipakai dalam menginterpretasi Al Quran.Pada makalah yang singkat ini, penulis mencoba memaparkan salah satu mufassir terkenal, mufassir yang keilmuannya tidak ada yang menandingi pada zamannya, dialah Fakhruddin Ar Razi.
Biografi Fakhruddin Ar-Razi
Nama lengkap beliau Abu Abdillah, Muhammad bin Umar  bin Alhusain bin Alhasan bin Ali, At Tamimi, Al-Bakri At-Thabaristani Ar Rozi. Beliau dijuluki sebagai Fakhruddiin (kebanggaan Islam), dan dikenal dengan nama Ibnu Al khatiib, yang setia menganut madzhab Syafi’i. Beliau dilahirkan pada tahun 544 H di kota ar-Ray[2].
Imam Fakhruddin Ar-Razi tidak ada yang menyamai keilmuan pada masanya, ia seorang mutakallim pada zamannya, ia ahli bahasa, ia Imam tafsir dan beliau sangat unggul dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga taka ayal apabila semasa hidupnya banyak berdatangan orang-orang yanghendk berguru kepada beliau dari berbaai penjuru negeri, untuk menimba sebagian dari keluasan ilmu beliau. Di dalam  memberikan hikmah, fatwa dan berbagai pelajaran, beliau menggunakan bahasa arab dan bahasa asing.
Usia mudaya ia gunakan dengan baik untuk belajar berbagai besik ilmu pengetahuan kepada ayahandanya sendiri Saikh Dliyauddin Umar. Beliau banyak belajar ilmu kalam kepada Majdi al-Jili yang merupakan salah satu murid Imam al-Ghazali. Belajar ilmu Ushul kapada ayahnya. Ayahandanya mendapatkan pelajaran dan pengetahuan ilmu Ushul ini dari Abi al-Qasim Sulaiman bin Nasir al-Anshari. Dalam bidang ini beliau juga belajar benyak kepada Imam Haramain Abi al-Ma’ali.
Kepada ayahandanya pula beliau belajar ilmu fiqih, yang didapat dar Qadli Husain al-Maruzi, dari al-Qafal al-Maruzi, dari Abu Zaid al-Maruzi, dari Abu Ishaq al-Maruzi, dari Abu Abbaz al-Zuraij (Ahmad bin Umar), dari Abu al-Qashim al-Anmathi, dari Ibrohim al-Muzni yang belajar kepada al-Imam asy-Syafi’i.[3]
Fakhruddin al-Razi hidup pada paruh kedua abad ke-enam hijriyah. Pada masa ini umat muslim berada dalam kemelut politik, permasalahan kebangsaan, gugatan ilmu pengetahuan dan goncangan aqidah yaitu pada masa kemunduran daulah abbasiyah. Sedang madzhab negara yang digunakan secara resmi pada masa itu adalah Syafiiyah, Hanafiyah dan Syiah.
Pada masa ini juga terjadi gonjang-ganjing akidah di antara berbagai sekte, terlebih Syiah, Mu’tazilah, Murjiah, aliran kebatinan dan kurrasiyah. Pergulatan akidah ini Ignaz Golzihar memarkan dengan begitu jelas di dalam Madzahibuttafsirnya. Sehingga sempat terjadi pembunuhan terhadap at-Tabari pada beberapa tahun sebelumnya dan pengkafiran Zamahsyari di dekat-dekat waktu tersebut.[4]
 di antaranya Ia juga seorang dokter pada zamannya. Imam Fakhruddin telah menulis beberapa komentar terhadap buku-buku kedokteran. Pada usia 35 tahun, ia telah menerangkan bagian-bagian yang sulit dari al-qanun fi al-tibb kepada seorang dokter terkemuka di Sarkhes, yaitu Abd al-Rahman bin Abd al-Karim.
Imam Fakhruddin Ar Razi wafat pada tahun 606 H. Dikatakan beliau meninggal, ketika beliau berselisih pendapat dengan kelompok Al-Karamiah tentang urusan aqidah, mereka sampai mengkafirkan Fakhruddin Ar Razi, kemudian dengan kelicikan dan tipu muslihat, mereka meracuni Ar Razi, sehingga beliau meninggal dan menghadap pada Rabbi Nya.
 Karya-karya Imam Fakhruddin Ar Razi
Imam Fakhruddin Ar Razi menguasai berbagai bidang keilmuan seperti al-Qur’an, al-Hadits, tafsir, fiqh, usul fiqh, sastra arab, perbandingan agama, filsafat, logika, matematika, fisika, dan kedokteran. Selain telah menghafal al-Qur’an dan banyak al-Hadits, Fakhruddin al-Razi telah menghafal beberapa buku seperti al-Shamil fi Usul al-Din, karya Imam al-Haramain, al-Mu‘tamad karya Abu al-Husain al-Basri  dan al-Mustasfa karya al-Ghazali. Intelektual sezaman dengan Fakhruddin al-Razi; di antaranya Ibn Rushd, Ibn Arabi, Sayfuddin al-Amidi dan Al-Suhrawardi.
Kecerdasan dan keilmuan beliau sangat tinggi, berbagai macam ilmu dipelajari dan dikuasainya, hal itu bisa dibuktikan dengan kitab-kitab karangan beliau, yang terdiri dari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, dan tak heran jika Ibnu Katsir dalam bidayah wan nihayahnya menyebutkan, bahwa karya tulis beliau mencapai sekitar dua ratusan buku. Dan kini karangan-karangan beliau tersebar diseluruh Negara, diantaranya adalah:
At Tafsir Al Kabiir atau yang kita kenal dengan Mafaatihul Gaib.
  • Al arba’in fi ushuluddiin
  • Ahkamul qiyaasi As syar’i
  • Al mahsul fi ilmi usul fiqh
  • Mukhtashar akhlak
  • Al mantiqul kabiir
  • Tafsir Al-Fatihah
  • Tafsir Surah Al-Baqarah ala Wajhi Aqli la Naqli
  • Tafsir Mafatihul Ulum
  • Nihayatul Uqul fi Dirayatil Ushul
  • Ta’sisut Taqdis
  • Tahshilul Haq
  • Al-Khamishin fi Ushuliddin
  • Ishmatul Anbiya’
  • Hudutsul Alaam
  • Sarh Asmaulllah Al-Husna
  • AL-Muhshil fi Ilmil Kalam
  • Thariqah fil Kalam
  • Az-Zubdah fi Ilmil Kalam
  • AL-Mulakhash fil Falsafah
  • Lubabul Isyaraat
  • Mabahitusl Jidal
  • Sarh Nahjul Balaghah
  • Al-Muharrar fi Haqaiqin Nahwi
  • Manaqib Imam Syafi’i
Dan masih banyak lagi karangan-karangan  beliau yang penulis tidak bisa sebutkan  disini. Setidaknya kita bisa mengambil contoh dari kehidupan Intelektual Imam Fakhruddin Ar-Razi yang mampu menulis banyak karya. 6 karya dalam ilmu Tafsir, 20 karya dalam ilmu Kalam, 9 karya dalam bidang filsafat, 6 karya dalam ilmu Filsafat dan Kalam, 5 karya dalam Logika, 2 dalam Matematika, 6 karya dalam ilmu Kedokteran,(48 karya dalam MIPA) 9 karya dalam ilmu Syariah, 4 karya dalam bidang sastra, dan masih puluhan lagi karyanya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya. Masih banyak juga karyanya masih dalam bentuk manuskrip dan belum dikaji.[5]
Sekilas Tentang Mafatihu al-Ghaib
Tafsir Mafaihul Ghaib atau yang dikenal sebagai Tafsir al-Kabir dikategorikan sebagai tafsir bir ra’yi (tafsir yang menggunakan pendekatan aqli), dengan pendekatan Mazhab Syafi’iyyah dan Asy’ariyah. Tafsir ini merujuk pada kitab Az-Zujaj fi Ma’anil Quran, Al-Farra’ wal Barrad dan Gharibul Quran, karya Ibnu Qutaibah dalam masalah gramatika.
Riwayat-riwayat tafsir bil ma’tsur yang jadi rujukan adalah riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Sudai, Said bin Jubair, riwayat dalam tafsir At-Thabari dan tafsir Ats-Tsa’labi, juga berbagai riwayat dari Nabi saw, keluarga, para sahabatnya serta tabi’in.
Sedangkan tafsir bir ra’yi yang jadi rujukan adalah tafsir Abu Ali Al-Juba’i, Abu Muslim Al-Asfahani, Qadhi Abdul Jabbar, Abu Bakar Al-Ashmam, Ali bin Isa Ar-Rumaini, Az-Zamakhsyari dan tafsir Abul Futuh Ar-Razi.
Ada riwayat yang menjelaskan bahwa Ar-Razi tidak menyelesaikan tafsir ini secara utuh. Ibnu Qadi Syuhbah mengatakan, “Imam Ar Razi belum menyelesaikan seluruh tafsirnya”. Ajalnya menjemputnya sebelum ia menyelesaikan tafsir Al Kabiir. Ibnu Khulakan dalam kitabnya wafiyatul a’yan nya juga berkata demikian.Jadi siapa yang menyempurnakan dan menyelesaikan tafsir ini?dan sampai dimana beliau mengerjakan tafsirnya?
 Ibnu hajar Al ‘Asqalani menyatakan pada kitabnya ,” Yang menyempurnakan tafsir Ar Razi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abi Al Hazm Makky Najamuddin Al Makhzumi Al Qammuli, wafat pada tahun 727 H, beliau orang mesir. Dan penulis kasyfu Ad dzunuun juga menuturkan,” Yang merampungkan tafsir Ar Razi adalah Najamuddin Ahmad bin Muhammad Al Qamuli, dan beliau wafat  tahun 727 H. Qadi Al Qudat Syahabuddin bin Khalil Al Khuway Ad Dimasyqy, juga menyempurnakan apa yang belum terselesaikan, beliau wafat tahun 639 H.
Kemudian, sampai dimana Ar Razi terhenti dalam menulis tafsirnya? DR. Muhammad Husain Ad Zahabi menjelaskan pada kitabnya tafsir al mufassiruun,” Imam Fakhruddin telah menulis tafsirnya sampai surah Al Anbiya, setelah itu datang Syahabuddin Al Khuway melanjutkan tafsir ini, namun beliau belum menyelesaikan seluruhnya, kemudian datang Najamuddin Al Qamuli menyempurnakan tafsir Ar Razi. Ad Zahabi juga mengatakan bisa jadi yang menyelesaikan tafsir Ar Razi sampai akhir adalah Al Khuway.
Namun, Sayyid Muhammad Ali Iyazi, dengan merujuk pada keterangan Syaikh Muhsin Abdul Hamid, memberikan klarifikasi bahwa sekelompok mufasir era  belakangan yang meneliti tafsir ini menetapkan kitab tafsir ini sebagai karya mandiri dari Ar-Razi secara utuh.
Lepas dari polemik di atas, ini adalah salah satu kitab tafsir bir ra’yi yang paling komprehensif, karena menjelaskan seluruh ayat Al Quran dengan pendekatan logika. Sang pengarang berusaha menangkap substansi atau ruh makna yang terkandung dalam teks Al Quran.
Adapun maksud tafsir ini dan segala uraiannya, antara lain:
Pertama; menjaga dan membersihkan Al Quran beserta segala isinya dari kecenderungan-kecenderungan rasional yang dengan itu diupayakan bisa memperkuat keyakinan terhadap Al Quran.
Kedua; pada sisi lain, Ar-Razi meyakini pembuktian eksistensi Allah swt dengan dua hal. Yaitu “bukti terlihat”, dalam bentuk wujud kebendaan dan kehidupan, serta “bukti terbaca”, dalam bentuk Al Quran. Apabila merenungi hal yang pertama secara mendalam, kita akan semakin memahami hal yang kedua. Karena itu Ar-Razi merelevansikan keyakinan ilmiyah dengan kebenaran ilmiyah dalam tafsirnya.
Ketiga; Ar-Razi ingin menegaskan sesungguhnya studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan sebagai materi tafsir, serta digunakan untuk menakwil ayat-ayat Al Quran, selama berdasarkan kepada kaidah-kaidah yang jelas, yaitu kaidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Metodologi dan Sumber Penafsiran Ar-Razi
Manhaj yang digunakan ar-Razi di dalam kitab Tafsirnya tak ada yang dapat menandinginya. Ia terlebih dahulu menuturkan tema-tema dan pemikiran secara umum kamudian menjelaskannya dengan begitu rinci dan membahasnya secara terpisah berdasarkan pendapat berbagai ulama’. Metode inilah yang menurut Ibnu Khlkan Ar-Razi telah mengumpulkan berbagai pandangan yang gharib (ابن خلكان-بدون تاريخ-ج4ص7) Sedang dalam penjelasan yang lain di akhir komparasinya terhadap berbagai pendapat lama’ Fiqa Beliau  lebih condong kepada Imam Asy-Syafi’i[6]. memaparkan seluruh pendaat ulamak terkait dengan dengan satu tema dan permasalahan lalu diklarifikasi satu persatu hingga menetukan sikap dan kecondongannya adalah kelebihan tersendiri dari metode yang ia lakukan dibandingkan dengan beberapa para mufassir lainnya[7]. Untuk contohnya bisa di lihat dalam tafsir mafatul ghaib halaman empat tentang perbedaan pendapat para sahabat dan ulamak mengenai kata الم
Menurut Abu Bakar as-Siddiq di dalam kitab al-Qur’an terdapat rahasia Tuhan. Dan rahasia tersebut biasanya terdapat di awal surat. Menurut Ali bin Abi Thalib di dalam kitab al-Qur’an ayat pilihan yang nterbaik. Dan pilihan ayat terbaik kitab al-Qur’an ini adalah huruf-huruf tahajji. Dan berbagai pendapat uala’ yang lain hingga menurut asy-Sy’bi ketika ditanya ia menjawab ini merupakan rahasia Tuhan, maka jangan kau tanyakan dan menurut Husain bin Fadl ini termasuk dari bagaian ayat mutasyabihat.
Walau demikian kalangan mutakallimin menentang sema pendapt-pendapat ini. Mereka malah bersikeras bahwa al-Qur’an masti harus dapat dipahami dan dicerna oelh manusia. Sebab bagi mereka bagaiman manusia bisa mengambil pelajaran dan ibrah dari al-Qur’an apabila al-Qur’an itu sendiri sudah tidak kbisa di fahami. Pendapat ini mereka sandarkan pada sebuah Hadits Nabi, إني تركت فيكم ما إن تمسسكتم بهما لن تضلو كتب الله وسنتي  .
Dari sekianpendapat para ulama’ ini ar-Razi menentukan sikapnya dan mengambil posisi bagaiman ia harus menyikapi ayat ini. Himngga pada akhirnya ia ia mengokohjkan seuatu pandangan bahwa sesungguhnya ayat tersebut merupakan mutasyabih. Sedang ayat mutasyabih tidak dapat diketahui arti hakikatnya. Pendapat ini ia dasarkan kepada ayat al-Qur’an yang berbunyi وما يعلم تأوله الا الله lalu dilanjutkan dengan والراسخون في العلم يقولوا امن بالله.[8]
Dari ini sudah jelas bahwa metode penafsiran yang dilakukan ar-Razi di dalam tafsirnya adalah metode komparasi مقرن di antara berbagai pendapat ulama’ lalu diklarifikasi satu persatu hingga pada akhirnya ia menetukan sikap dan memosisikan diri.
Sedang sumber penafsiran yang ia gunakan adalah rasionalitas, birra’yi. Hal ini dapat kita pahami dari seabrek pendapat yang ia suguhkan setiap kali hendak menafsiri al-Qur’an yang dipaparkan dari berbagai sudut pandang. Walau pada dasarnya beliau tidak mengesampingkan sumber al-Qur’an itu sendiri, Hadits Nabi dan Atsar Shahabat. Namun karena pada akhirnya ia mengklarifikasi sumber-sumber tersebut secara rasional maka jelaslah bahwa sumber penafsiran beliau berupa ra’yi, rasionalitas.

 Corak Penafsiran Ar-Razi
Berbicara corak penafsiran yang beliau gunakan, hanya akan membuat kita bingung dan tak menemukan pangkal-ujungnya. Sebab di dalam tafsir Mafatihul Ghaib, beliau telah menyingung segala aspek ilmu pengetahuan mulai sisi lughaiyah seperti kutipan ayat وادعوا شهداءكم. Ar-Razi memearkan bahwa arti kata شهداء di dalam lisanul arab mempunyai banyak makna. Di antaranya orang arab mengartikan مشاهدة seperti, pertama, unta dan kuda (untuk qurban sebagai persaksian keimanan seseorang), مشاهدة diartikan tutunan untuk bersedakah dan menyucikan diri, dan beberapa arti yang nlain yang tidak dihendaki oleh al-Qur’an. Namun yang dimaksudkan  Tuhan dengan dari ungkapan وادعوا شهداءكم adalah bagaiman mereka (kafir quraisy) meminta bntuan Tuhan-Tuhan mereka selain Allah, Lata Uzza dan Manash. Beliau begitu lihai dalam mengurai makna kata yang dikehandaki al-Qur’an[9].
Dari segi nahwiyahnya seperti di dalam mengatikan kembalinya dlamir pada kata فأتوا بسورة من مثله Menurut pendapat pertama dlamir ‘hi’ kembali pada kata مما نزلن على عبدنا. Artinya datangkanlah satu surat saja seperti surat yang ada pada hamba kami kebaikannya, majaznya, linguistiknmya dan semiotiknya. Dan yang kedua kembali pada kata عبدنا. Artinya datangkanlah atu surat saja dari orang nyangn seperti hamba kami, ummi. Dan pada akhirnya ar-Razi mengambil pendapat yang pertama sebagai yang paling benar. Yaitu dlamir ‘hi’ yang dikembalikankepada al-Qur’an.[10]
   Selain ar-Razi juga menafsiri dari segi hukum fiqih yang ada di setiap bahasannya, dia juga menafsiri al-Qur’an dari segi hukum moral. Di dalam ayat ini saja ar-Razi mengartikan وادعوا شهداءكم kedalam dua bagian. Pertama, ayat ini menerangkan tertolaknya Tuhan selain Allah seperti Tuhan-Tuhan yang mereka buat sendiri. Dan yang kedua, menunjukkan amr ingkari yang menyatakan bahwa selain Allah tidak ada yang bisa membuat al-Qur’an[11].
Dari pemaparan di atas jelas bahwa tafsir ar-Razi bercorak kombinasi. Penafsiran yang tidak condong kepada suatu aspek yang diinginkan saja. Namun, walau demikian bukan berarti tafsir ar-Razi berupa tafsir yang bercorak umum yang membahas al-Qur’an secara mendasar keseluruhan.


 Sistematika Penafsiran Ar-Razi
Sedangkan sistematika yang digunakan ar-Razi di dalam menafsiri ayat al-Qur’an adalah diurut sesuai tertib mushaf utsmani. Ar-Razi tidak menafsiri al-Qur’an secara terpotong-potong dengan mengabil suatu tema lalu dikumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersinggungan dengan tema tersebut. Ini artinya sistematika tafsir ar-Razi adalah tafsir mushafi. Tafsir yang diurut dari surat al-fatihah hingga an-nas.


[1] Ignaz Golzihar, (Madhab Tafsir), Kalimedia, Yogyakarta, 1 Febuari 2015, hal 154
[2] Fakhruddin ar-Razi, (Mafatihul Ghaib),  Darl al-Fikr, 1414 H, juz 1, hal 3
[3] Ibid, hal: 4
[4] Ignaz Golzihar, (Madhab Tafsir), Kalimedia, Yogyakarta, 1 Febuari 2015, hal 156-157
[5] Fakhruddin Ar-Razi (Mafahimu Al-Tarbawiyyati ‘Inda Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi Min Khalali Kitabihi), Al-Mamlakatu al-Arabiyyati, 1411-1412 H, hal 29-35
[6] Ibid, Mafahimu Al-Tarbawiyyati, hal: 28
[7] Ibid, Mafahimu Al-Tarbawiyyati, hal 28
[8] Op.Cit, Mafatihul Ghaib, hal: 4-6
[9] Ibid, Mafatihul Ghaib, hal:  127-128 (QS. al-Baqarah 23)
[10] Ibid, Mafatihul Ghaib, hal:  130
[11] Ibid, Mafatihul Ghaib, hal: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here