Mistisisme Ketuhanan (Sebuah Kajian Filsafat Agama) - Sastri Pustaka

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Senin, 23 Oktober 2017

Mistisisme Ketuhanan (Sebuah Kajian Filsafat Agama)

BAB I 

PENDAHULUAN 
Latar Belakang


Ketuhanan, merupakan ranah dan bahkan hal yang wajib dalam kajian filsafat agama, yang dalam perkembangannya lebih dikenal dengan filsafat ketuhanan. Filsafat ketuhanan, sangat erat kaitannya dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan yang disandarkan pada kemampuan penalaran manusia. Filsafat ketuhanan bukan lantas mempertanyakan eksistensi Tuhan, akan tetapi disiplin ilmu tersebut hanya ingin mengkaji bahwa apabila tidak ada Tuhan yang merupakan penggerak pertama yang tidak ada penggerak lagi sebelumnya, maka kedudukan benda-benda yang sifatnya ril (tidak abstrak/ghaib) tidak dapat dipahami akal.

Dalam diskursus wacana filsafat agama yang telah dibahas diatas, muncul beberapa proposisi argumentatif dengan beberapa karakteristik dalam upaya pembuktian keberadaan Tuhan, di antaranya argumen ontologis, kosmologis, teleologis dan argumen moral. Dan ini merupakan nilai lebih dari pendekatan filsafat dibanding dengan pendekatan agama maupun pendekatan ilmu. Ilmu terbatas pada pemaparan deskripsi yang didasarkan atas pembuktian dan pengalaman empiric, sedangkan agama berangkat dari  keyakinan terhadap satu doktrin yang dilandaskan pada teks kitab suci.

Filsafat ketuhanan juga bisa dikategorikan kepada kajian metafisika, yang mana metafisika merupakan wilayah kajian filsafat agama yang memperbincangkan tentang Tuhan. Tuhan, yang dalam hal ini sebagai obyek kajian metafisika memiliki ruang khusus dibanding objek metafisika lainnya. Manakala manivestasi lahiriyah dari semesta alam maupun jiwa bisa ditangkap oleh panca indera, maka hal yang sama tidak berlaku bagi fakta ketuhanan. Sedangkan Tuhan adalah sesuatu dzat yang mutlak tidak dapat ditangkap oleh panca indera.

Dalam kajian kali ini  melihat deskripsi diatas  kita akan mencoba memaparkan sedikit terkait dengan metafisika ketuhanan, yang mana kita akan berusaha mengetahui tentang esensi Tuhan dalam agama, serta argumentasi tentang wujud Tuhan dan bagaimana konsep atau penjelasan tentang tuhan dalam teologi..


Rumusan Masalah
Selayang Pandang Tentang Metafisika
Hakikat Tuhan Dalam Agama
Argumentasi Tentang Wujud Tuhan

BAB II

PEMBAHASAN

Definisi Metafisika 
Metafisika adalah bagian dari aspek ontologis dalam kajian filsafat agama. Konsep metafisika berasal dari bahasa Inggris, metaphysics, atau dari bahasa Yunani metaphysica yang itu berasal dari kata meta (setelah, melebihi) dan physikos (menyangkut alam) atau physis (alam). Metafisika merupakan bagian Falsafah tentang esensi yang ada di balik fisik. Lebih jelasnya, metafisika adalah hakikat yang bersifat abstrak yang ada diluar jangkauan rasio dan pengalaman manusia. Metafisika secara prinsip mengandung konsep kajian tentang sesuatu hal yang bersifat rohani/batini dan yang tidak dapat diterangkan dengan kaedah penjelasan yang ditemukan dalam ilmu-ilmu yang lain. 

Untuk mendeskripkan secara lebih jelas posisi dan kedudukan metafisika disini, dapat dikemukakan bahwa Ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia itu melewati 3 jenis tahapan  abstraksi yaitu fisika, matematika dan teologi.

Abstraksi pertama, yaitu fisika, Manusia berfikir ketika mengamati secara  indrawi.  Dengan berfikir, akal dan budi kita melepaskan diri dari pengamatan inderawi dan segi-segi tertentu, yaitu materi yang dapat dirasa, Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik dari padanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang abstrak itu, menghasilkan ilmu pengetahuan yang disebut fisika (physos = alam).

Abstraksi kedua, yakni matesis. Ini terjadi ketika manusia dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan diri dari materi yang hanya segi dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut matesis (matematika  mathesis = pengetahuan, ilmu).

Abstraksi ketiga, yaitu teologi atau filsafat pertama.  Dengan  meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, bersifat teleologi,  asas  pertama dalam pendekatan hakikat  realitas dan sebagainya.  Disini Asas fisika dan asas matematika jelas telah ditinggalkan.  Pemikiran pada asas ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang disebut teologi atau filsafat pertama. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini datang sesudah fisika, maka dalam tradisi keilmuan selanjutnya disebut metafisika.

Hakikat Tuhan Dalam Agama
Tuhan adalah hal terpenting dalam setiap agama dan filsafat. Agama tanpa kepercayaan kepada Tuhan tidak bisa disebut agama. begitupula dengan filsafat, dalam kajian pertama kali pada disiplin ilmu filsafat ini adalah tentang metafisika ketuhanan. Sedangkan manusia pada dasarnya sangat memerlukan suatu bentuk kepercayaan kepada kekuatan ghaib. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Tuhan dalam sebuah agama adalah sebuah keniscayaan, yang mana kesinambungan antara Manusia, Agama, dan Tuhan adalah rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Manusia memerlukan agama sebagai sebuah kepercayaan, dan keyakinan sedangkan suatu agama pasti memiliki Tuhan. Itulah mengapa Tuhan bersifat urgen dalam sebuah agama.
Kata Tuhan merujuk kepada suatu dzat abadi dan supranatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.
Banyak tafsir daripada nama "Tuhan" ini yang bertentangan satu sama lain. Meskipun kepercayaan akan Tuhan ada dalam semua kebudayaan dan peradaban, tetapi definisinya lain-lain. Istilah Tuan juga banyak kedekatan makna dengan kata Tuhan, dimana Tuhan juga merupakan majikan atau juragannya alam semesta. Tuhan punya hamba sedangkan Tuan punya sahaya atau budak.
Kata Tuhan disebutkan lebih dari 1.000 kali dalam Al-Qur'an, sementara di dalam Alkitab kata Tuhan disebutkan sebanyak 7677. Tuhan, adalah dzat yang ada (bukan diadakan/diciptakan, tidak dilahirkan dan tidak melahirkan), Dia hidup (tidak dihidupkan dan tidak mati), Dia kuasa tidak butuh kepada makhluknya, Dia mengatur dan menentukan (bukan diatur dan ditentukan). maka yang bisa dikatakan Tuhan haruslah memenuhi unsur unsur diatas.
Menurut al-Farobbi Tuhan adalah Zat yang qodim, abadi dan otonom. Menurutnya, konsep(tentang)Tuhan tidak terbatas dengan ma hiya dan ma huwa dari segala apa yang terandaikan oleh manusia. Atau dengan kata lain, al-Ghazali memberi ketegasan dalam kitabnya al-Iqtisahd fi al-Itiqad bahwa Tuhan dalam kemungkianannya mampu dan niscaya melepaskan diri dari kamman wa kaifan sebagaimana yang terberssit dalam akal manusia.
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai (didominir) olehnya (sesuatu itu). Perkataan "dipentingkan" hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut: 
Tuhan adalah Ia yang dipuja dengan penuh kecintaan hati; tunduk kepadanya, merendahkan diri di hadapannya, takut dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo'a dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya.
Berdasarkan definisi ini dapatlah difahami, bahwa tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheist, tidak mungkin tidak bertuhan. Berdasarkan logika al-Qur'an bagi setiap manusia mesti ada sesuatu yang dipcrtuhankannya. Dengan demikian, maka orang-orang komunis itu pun pada hakikatnya bertuhan juga. Adapun tuhan mereka ialah ideology atau angan-angan (Utopia) mereka, yaitu terciptanya "masyarakat komunis, di mana setiap orang boleh bekerja menurut kemampuan masing-masing dan mendapatkan penghasilan sesuai dengan kebutuhan masing-masing", sebagai yang dirumuskan dengan jelas oleh pemimpin mereka, Lenin, di dalam manifesto communisme-nya: "From everyone according to his ability, and for everyone according to his need." Ungkapan inilah yang diterjemahkan oleh para pemimpin mendiang PKI (Partai Komunis Indonesia) dahulu dengan slogan: "sama rata sama rasa". Orang komunis sebenarnya memimpikan terciptanya suatu masyarakat bertata ekononii yang "adil sempurna".

Argumen Argumen Tentang Wujud Tuhan
Seperti yang telah disebutkan pada pendahuluan diatas tentang beberapa macam pembuktian filosofik yang berusaha membukakan jalan-jalan menuju Tuhan; yaitu pembuktian ontologis, kosmologis, teleologis, moral, maka para filsuf dalam melakukan pembuktian menuju Tuhan memakai pendekatan tersebut. Adapun penjelasan argumen pembuktian tentang Tuhan sebagai berikut:
Argumen Ontologis 
Pembuktian ini pertama kali diperkenalkan oleh Plato (428-348) dengan teori Idea-nya  Kemudian ada St. Agustinus, Anselmus (1033-1109) dan dari kalangan muslim ada Al-Farabi. Kami tertarik untuk membahas pemikiran Anselmus dalam teori ontologinya dalam argumentasi ketuhanan. Anselmus pada dasarnya atau awal ia menggunakan teori ini adalah ketika ia diminta oleh seseorang biarawan untuk menyusun argumen yang membuktikan adanya Tuhan atas dasar rasio dan tidak atas dasar kitab suci. Memenuhi permintaan ini, Anselmus menyusun argumen yang terkenal dengan sebutan argumen ontologi.
Secara kongkrit ajaran Anselmus Van Canterburi tentang kepercayaan dan akal telah dipergunakan sewaktu ia mengemukakan pembuktiannya tentang adanya Tuhan. Anselmus beranggapan untuk mengetahui bahwa Tuhan itu ada, dan bahwa Tuhan adalah yang tertinggi dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Anselmus menginginkan kepercayaan atau keyakinan yang ditimbulkan oleh agama tumbuh menjadi pengertian dalam sebuah landasan keilmuan. Untuk memperoleh pendasaran epistemologis mengenai kepercayaan (intelectus Fidei) ini, Anselmus mulai dengan satu pokok pangkal, yaitu bahwa bagi setiap orang Tuhan itu berarti Yang Maha Tinggi dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia.
Menurut Anselmus yang Maha Besar (yang Maha Tinggi) dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan itu mustahil hanya terdapat di dalam alam pikiran saja. Sebab andai kata demikian halnya, sudah barang tentu dapat dipikirkan pula bahwa yang Maha Besar itu juga terdapat di dalam alam kenyataan, hingga dengan demikian yang Maha Besar itu makin menjadi yang Terbesar. Jadi tidak boleh tidak yang Maha Besar dan Maha Tinggi itu harus ada pula di dalam kenyataan. Dari hal inilah titik tolak argumen Anselmus melalui jalan ontologis untuk menuju Tuhan.
Menurut Anselmus suatu pernyataan adalah jelas dari dirinya kalalu predikatnya sudah tercakup dalam subyek (pernyataan analitis), apalagi untuk pernyataan yang predikatnya bertepatan dengan subyek (pernyataan identik). Dalam pernyataan Allah itu Ada, subyeknya: Allah atau Eksistensi Substansial Ilahi, sudah memuat predikat Ada, karena di situ termuat totalitas kesempurnaan-kesempurnaan; Tidak seorangpun menyangkal bahwa Eksistensi Tuhan sungguh-sungguh identik dengan essensi-Nya, bahkan lebih lagi eksistensi itu adalah secara formal adalah essensinya. Jadi nampaknya pernyataan Allah itu Ada, bagi yang mengerti artinya perkataan itu mempunyai kejelasan langsung yang sama dengan pernyataan ini, Kuadrat itu mempunyai empat sudut atau lingkarang itu bulat. Hanya saja essensi Tuhan, pada diri-Nya sendiri tidak dapat ditangkap oleh roh kita. Akibatnya kebenaran dari adanya itu tetap  sendiri tidak dapat ditangkap oleh roh kita, Akibatnya kebenaran dari adanya itu tetap tinggal tidak jelas secara langsung. Untuk menunjukkannya, kita memerlukan suatu perantaraan, suatu proses rasional
Argumen  Kosmologis
Albertus Magnus (1193-1280) juga menolak argumen ontologi Anselmus dan sebagai gantinya ia mengajukan argumen kosmologi. Secara kongkrit, argumen ini mengatakan bahwa pembuktian ini pada dasarnya diperoleh mlalui observasi langsung terhadap alam semesta. Pembuktian ini sangat beragam, baik segi pendekatan maupun data-data yang diolah. Tetapi yang jelas pembuktian ini berangkat dari problematika yang terjadi di alam semesta, baik keteraturan, kejadian, peristiwa yang berlangsung di alam, sesungguhnya bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi ada yang mengatur. Pada akhirnya argumen ini sampai pada kesimpulan puncak bahwa yang mengatur itu adalah Tuhan Yang Maha pengatur. 
Argumen kosmologis ini pertama kali dicetuskan oleh Plato dengan melakukan pembuktian adanya tuhan berdasarkan dua macam gerakan yang ada di dunia ini. Yaitu gerakan asli dan gerakan yang digerakan. Gerakan asli hanya bisa dilakukan oleh wujud yang hidup, sedangkan gerakan yang digerakan tergantung pada gerakan dari wujud yang hidup. Plato menyatakan bahwa seluruh gerak alam semesta ini secara mutlak disebabkan oleh aktivitas sesuatu yang berjiwa. Wujud yang berjiwa inilah yang mengatur dan memelihara, sehingga disebut Maha pemelihara dan bersifat Maha bijaksana. Wujud yang hidup itu adalah Tuhan.
Pembuktian Aristoteles secara Kosmologis tentang adanya Tuhan, sebagaimana dalam karyanya Metaphysics adalah bahwa Tuhan dipandang sebagai penggerak pertama. Teori ini pada dasarnya berpangkal dari pemikirannya mengenai Hylemorphism, yaitu  materi (hyle) dan  bentuk (Morphe). Materi bersifat potensial, yakni mempunyai kemungkinan untuk berubah-ubah. Sedangkan bentuk bersifat aktual, tetap, tidak berubah-ubah dan yang memberi gerak pada materi. Keduanya  dihubungkan dengan gerak. Adanya gerak karena adanya  penggerak pertama yang tidak bergerak dan merupakan wujud yang tidak digerakkan. Semua tergantung dari diri-Nya, maka ia pastilah Tuhan.

Argumen Teologis
Pembuktian teolologis merupakan pembuktian yang lebih spesifik dari pembuktian kosmologis. Pembuktian ini pada dasarnya berangkat dari kenyataan tentang adanya aturan-aturan yang terdapat dalam alam semesta yang tertib, rapi dan bertujuan. Dengan demikian, secara sederhana, pembuktian ini beranggapan adalah: 1). Serba teraturnya alam memiliki tujuan, 2). Serba teraturnya dan keharmonisan alam ini tidaklah oleh kemampuan alam itu sendiri, 3) Di balik alam ini ada sebab yang maha bijak.
Apa yang bisa dicapai oleh pembuktian ini hanyalah adanya arsitek alam yang dibatasi pada adanya persediaan materi alam, dan bukan adanya pencipta alam dimana segala sesuatunya tunduk kepadanya. Berangkat dari realitas tersebut di atas, maka dengan memperhatikan setiap susunan alam semesta yang sangat tertib dan bertujuan dapat kita pastikan bahwa terdapat suatu zat yang Maha pengatur dan Pemelihara, sekaligus menjadi tempat tujuan dari alam semesta. Bukti teologis ini dianggap oleh para teolog maupun filosof sebagai bukti yang cukup kuat diantara bukti-bukti klasik lainnya.
Argumen Moral
Pembuktian moral mengenai adanya Tuhan merupakan pembuktian yang paling sahih dan dapat dipertanggung jawabkan secara rasional-intelektual diantara bukti-bukti lainnya tentang adanya Tuhan. Pembuktian moral ini pertama kali dicetuskan oleh Immanuel Kant yang merasakan bahwa pembuktian logis tentang Tuhan berdasarkan pada fakta kosmologis tidak dapat membawa pada kesimpulan yang cukup valid bahwa Tuhan itu ada. Itulah kritikan Kant tentang pembuktian Kosmologis. Untuk itu, Kant memberikan solusi melalui pembuktian moral. Menurut Kant perasaan manusialah yang dapat membuktikan dengan memuaskan tentang adanya Tuhan.
Selanjutnya, Kant memberikan penjelasan yang sistematis mengenai akal teoritis dan akal Praktis. Menurut Kant ada dua cara akal berhubungan dengan obyeknya. Pertama, akal mampu menangkap objek luar diri. Ini adalah akal teoritik. Kedua, akal dapat menciptakan konsep atau ide menjadi riel. Ini adalah akal praktis yang fungsinya mengadakan pilihan-pilihan moral dan merealisasikannya sesuai aturan-aturan moral yang ditetapkan oleh dirinya sendiri. Akal praktis atau the will of the rational being bertujuan mencapai summum bonum, yakni suatu kebaikan yang sempurna yang meliputi kabajikan dan kebahagiaan. Menurut Kant, Summum bonum adalah tujuan akhir yang ditetapkan sendiri oleh akal secara a priori, dan untuk mencapai itu manusia harus tunduk kepada moral. Setiap orang menyadari dirinya benar-benar terikat oleh aturan-aturan moral.
Aturan-aturan moral itu menuntut terpenuhinya summum bonum, dan hanya Tuhan saja yang bisa menjamin terpenuhinya ini dan itu pun tidak terjadi dalam kahidupan sekarang ini melainkan dalam kahidupan setelah sekarang ini. Oleh sebab itu, Tuhan pastilah ada. Tuntutan moral akan kehidupan bahagia membawa kita kepada keyakinan akan adanya eksistensi yang menjadi sebab bisa terpenuhinya tuntutan moral ini. Atau dengan kata lain, tuntutan moral bagi terwujudnya summum bonum memastikan adanya Tuhan sebagai Author atau Being yang mewujudkan summum bonum. Kesadaran bahwa Tuhan ini bersifat immanen (fitrah diri) yang berbeda di dalam kesadaran moral dan ini merupakan bukti yang cukup akan adanya Tuhan.
Dengan demikian, pembuktian moral secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut : bahwa manusia memiliki perasaan moral yang telah tertanam dalam jiwanya sejak ia dilahirkan. Manusia merasa mempunyai kewajiban untuk menjauhi, perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan baik. Perintah yang terdapat di sanubarinya ini bersifat mutlak dan universal karena perintah ini dirasakan oleh seluruh manusia, sehingga adanya kebajikan itu bersifat universal. Adanya perasaan universal ini membuat kita akan mampu melakukan ataupun menjauhi sesuatu yang baik dan buruk. Adanya perasaan ini membuat manusia melakukan kebajikan karena adanya zat yang akan memberikan balasan. Zat yang memberikan balasan inilah yang disebut Tuhan.

BAB III 
PENUTUP 
Kesimpulan 
Setelah secara seksama memaparkan problematika falsafah metafisika ketuhanan cukup memberikan gambaran yang  dapat diberikan sebuah analisa sebagai berikut: Metafisika merupakan hal yang signifikan dan menjadi wacana diskusi filsafat ketuhanan sehingga hal itu merupakan tema penting dan global dalam kajian filsafat agama. Serta Geneologi struktur dari pola kajian dan model konseptualisasi Metafisika ketuhanan memiliki argumentasi-argumentasi yang signifikan dengan tema sentral tentang konsep realitas ketuhanan baik itu dari segi Ontologis, Kosmologis, Teologis, serta argumen Moral.  .
Dengan memperhatikan narasi paper ini, smoga upaya kecil dari deskripsi tersebut diatas menjadi tambahan inspirasi bagi para intelektual muslim untuk terus menggali nilai-nilai ilmiah  khususnya berkaitan dengan falsafah metafisika pemikiran Islam. Wallahu alam bisy syawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here