Bisakah, lima waktu rakaat salat kujadikan
tiang penyangga imananku yang mulai tumbang lantaran akhir zaman serta insan menyulap Islam menjadi
batu nisan dan obsesi hiburan?. Tuhan, “ashshalatu eimaduddini” adalah sepatah kata arab
yang selalu aku ikat dengan erat
untuk kujadikan alat, syafaat kala kau mau menjeratku
ke jalan yang sesat.
Cukupkah segenggam zakat yang kutuniakan
dijadikan tebusan atas siksaan yang kau
janjikan terhadap kemunafikan dan kemungkaran yang senantiasa kukerjakan?
Bukankan ada kejelasan dari pewaris utusan “segantang
beras di
akhir Ramadlan akan menghilangkan
kotoran kehidupan dan akan menjadi
tebusan akan dosa yang dilakukann,”
Akankah tiga puluh siang ramadan cukup
syarat untuk jadikan air siram akan Islamku yang kian kusam setalah
berbulanbulan bermandi kekufuran?
Dapatkah
tahajjud malam dan dluha siang kugadaikan dengan segelas zamzam dan setangkai durian
kala di makhsyar semua insan dikumpulkan untuk menanti keputusan diantara dua
tempat keabadian?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar