Untuk Satu Fokus - Sastri Pustaka

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Selasa, 24 Oktober 2017

Untuk Satu Fokus

Untuk Satu Fokus
Uzlifatul Biladina*

Kalau membicarakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, bahkan sampai pada taraf pengokohan persatuan itu, sesungguhnya kita memerlukan “satu drum kopi”. Namun, karena porsi kita hanya “secangkir kopi”, kita ambil inti-intinya saja.
Pertama, kita harus catat bahwa kita semua memang butuh pada romantika persatuan dan kesatuan yang bukan hanya berangkat dari kesepakatan dan anggukan kepala antara pemerintah dan rakyat namun masih bengong dan bingung harus apa dan bagaimana menindaklanjuti. Lebih dari itu, keprihatinan terhadap krisis nasional yang telah atau sedang dialami oleh seluruh bangsa Indonesia butuh penghayatan mendalam dari setiap kepala manusia di Indonesia.
Dilema Persatuan dan Kesatuan Bangsa...
Kita pun yakin, bahwa setiap kepala manusia di Indonesia merindukan hadirnya substansi ‘satu’, berupa kesatuan, persatuan, penyatuan, dan bersatuuntuk melacak satu demi satu problematika nasional yang semrawut, lalu bersama membinasakan kesemrawutan itu dengan tekad dan jihad yang terorganisir. Seluruh tumpukan dan akumulasi permasalahan bangsa Indonesia selama bertahun-tahun, tumpukan kemiskinan, kemelaratan, dan kesukaran hidup sehari-hari “melek-merem” dalam catatan sejarah bangsa Indonesia. Belum lagi masalah kepercayaan rakyat pada pemimpin negara yang berada di ambang “pasang surut”, bahkan terbenam.
Kalau kita menoleh pada catatan sejarah bangsa terdahulu, sebelum Soeharto lengser, petanya adalah rakyat melawan penguasa. Sesudah Soeharto lengser, ada peta baru yang memedihkan: polarisasi antara kekuatan non-Islam melawan Islam. Kemudian bangsa telah sampai di masa ini: [malah] “Islam” yang saling melawan satu sama lain. Padahal, Islam sendiri damai-damai saja, namun gejolak politik atas nama agama nyerocos tiada henti sampai berbusa. Busanya tumpah di bumi nusantara. Meresahkan alam, menyayangkan manusia sebagai khalifah fi ardhi Indonisi.
Romantika khalifah fi ardhi Indonisi bukannya tidak pernah dan tidak sedang dicapai Indonesia. Dulu sampai kini, Indonesia tidak pernah sepi dariorang yang menginginkan terciptanya romantika itu. Saya yakin masih ada banyak kepala yang memiliki cita-cita luhur untuk menyaring Indonesia dari kesuraman perdamaian antaragama, kebusukan pelaku pencipta kerusakan, pelaku korupsi, dan berbagai keburaman nasional lainnya. Namun, kepala-kepala yang memiliki ide itu masih tercerai berai, belum menyusun kekuatan, dan bahkan yang lebih miris lagi hanya diam di tengah semrawutnya kekuasaan. Jika mau bergerak pun, ternyata masih ada pagar-pagar pembatas gerak itu.
Umpama mahasiswa, banyak kita jumpai mereka bergerak untuk menciptakan perubahan nasional ke arah lebih baik. Semua mengacungkan jempol dan menyepakati aspirasi prinsipiel gerakan mahasiswa. Spektrum idealisme yang mereka perjuangkan pasti juga di sekitar keadilan serta kedaulatan rakyat, demokratisasi, dan seterusnya. Mereka meminta pemerintah mengatasi berbagai masalah yang menimpa bangsa, baik dari segi ekonomi, politik, dan seterusnya.
Umpama santri, banyak kita jumpai pula mereka bergerak untuk menciptakan kemashlahatan sosial dengan menggaungkan dakwah-dakwah Islami dan menyalurkan nutrisi spiritual bagi jiwa-jiwa manusia di Indonesia. Nutrisi-nutrisi spiritual yang digemborkan santri tentulah memakai “vitamin-vitamin” yang sangat luar biasa bagi jiwa-jiwa manusia, terutama terhadap jiwa-jiwa yang kering kerontang dari spiritual. Manusia-manusia yang diberi hikmah oleh-Nya akan merasa lelah juga di akhir pekerjaan mereka. “Vitamin-vitamin” itu tentulah Alquran dan hadis. Kedua vitamin itu akan selalu indah jika dikaji dan diimpelementasikan ajarannya. Hal ini berangkat dari latar belakang yang tidak dapat dipungkiri juga; orang-orang Indonesia pada sibuk-sibuk: sibuk mencuri, sibuk menggosip, sibuk mengkorup, sibuk menista agama, sibuk membunuh, sibuk berbedak kekejaman merampas hak anak yatim, dan yang menurut Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) paling berbahaya dan sudah sangat merugikan bangsa Indonesia adalah kebiasaan untuk menelan prasangka-prasangka tentang sesuatu hal, dan kemudian prasangka itu dijadikan dalil yang dianggap pasti kebenarannya. Istilah Islamnya: dhann dijadikan nash.
Sekarang kita tilik makna gerakan mahasiswa dan santri. Adapun menurut Cak Nun, gerakan mahasiswa adalah sebagai power pressure (tekanan kekuatan), political pressure (tekanan politik), ataupun moral pressure (gelombang kekuatan batin). Sedangkan santri sering diagung-agungkan sebagai saabiqul khayr, naaibul ulama, taarikul maashi, raaji’ ila qaumihi linasyril’ilmi.Itu berarti, keduanya layak disebut power negara, ditambah lagi dengan indahnya cerita perjuangan santri dahulu yang melawan penjajah Indonesia di era kemerdekaan.
Jikalaukedua power itu bersatupadu menyatukan langkah untuk membangun Indonesia ke arah lebih bagus, ditambah juga dengan partisipasi pemerintah dan rakyat, maka kemungkinan pertama adalah kemungkinan yang menjurus pada Indonesia Bersih dan Makmur, gemah ripah loh jinawi sungguhan, dan menjadi Negara Terkompak Sedunia dalam Menuntaskan Berbagai Problem Kerugian Bangsa. Lalu kemungkinan selanjutnya adalah kemungkinan-kemungkinan yang tidak akan keluar dari kebaikan bangsa Indonesia ke depan. Kiranya, saya tidak bermaksud hati berlebihan memberikan asumsi ini.
Namun, kenyataan yang saya jumpai di lapangan adalah: [malah] bahwa tidak ada jaringan kekuatan yang kohesif di antara kaum mahasiswa dan kaum santri sendiri, terlebih lagi dengan komponen lain, misalnya LSM, apalagi dengan rakyat banyak. Yang paling lemah dari semua kelemahan kaum mahasiswa adalah bahwa gerakan mereka tidak berakar dari integritas dan akses pada rakyat banyak. Rakyat selalu hanya mereka sebut dan mereka atasnamakan, tetapi mereka belum pernah menemukan formula untuk benar-benar menyatu dengan rakyat.
Gerakan mahasiswa yang berlangsung sporadis dan lokal itu seperti bocoran-bocoran air yang tanggung di tembok kekuasaan. Dan gerakan santri yang tampak tidak tampak di panggung kekuasaan itu seperti udang di balik batu kekuasaan. Dan kemudian asumsi saya tentang Negara Terkompak Sedunia dalam Menuntaskan Berbagai Problem Kerugian Bangsa tampaknya hanya sebagai seekor ikan asin di samudera wahm (angan-angan).

Masih Setengah Mentah...
Tampaknya pula, kita sudah bisa menebak-nebak bahwa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia masih setengah mentah. Peta penyatuan langkah untuk menuju pengokohan persatuan dan kesatuan bangsa masih tercerai berai, tak terbentuk, tak tersusun, tak terorganisir, tak jelas wajah anggunnya. Akibatnya, ekonomi rakyat terluntang-luntang, pendidikan dientengkan, yang mengaku muslim memusuhi muslim lain sebab suatu perbedaan, yang sini menista agama, yang situ hanya ternganga, yang sini pelecehan, yang situ pemerkosaan, yang sini kelaparan, yang di kursi negara itu kentut-kentutan, dan seterusnya. Tidak ada yang menunjukkan pikiran kreatif, otak cerdas, dan sikap santun sosial semisal memelopori dan mengajak rakyat untuk bekerjasama mencapai perimbangan ekonomi atau bisa pula memprakarsai gerakan besar nasional untuk menciptakan perimbangan ekonomi, agar bisa dimanfaatkan untuk penghuni strata ekonomi yang lebih rendah. Atau bisa pula bekerjasama di bidang agama, pertahanan kebudayaan, politik, dan seterusnya.
Di Indonesia memang hampir mustahil dilakukan inisiatif semacam itu. Masalahnya sederhana saja: bangsa Indonesia sudah lama tidak memiliki kepercayaan kepada para pemimpinnya, apalagi yang menyangkut uang.
Apa nanti tidak dicuri sendiri oleh pengurusnya?
Lha wongsumbangan miliaran rupiah bagi korban gempa bumi saja hanya sampai sebagian pada rakyat. Bagaimana akan bersatu menuju persatuan dan kesatuan bangsa, jika sejarah kelam antara pemimpin dan rakyat masih bergaung di bumi nusantara ini?
Siapa percaya manusia di Indonesia? Sedangkan Tuhan Yang Maha Esa alias Allah SWT saja sering tidak percaya.
Untuk Satu Fokus...
Mari sejenak kita menghembuskan napas. Membuka hati nurani dan mengadilkan persepsi. Kita jangan dulu membuat suatu keputusan bahwa kita ayam yang kehilangan induknya. Kita pun jangan sikut-sikutan satu sama lain. Bagaimana pun wajah bangsa, sesengkarut apa pun rupa bangsa, tetap menjadi tanggung jawab kita sebagai makhluk Indonesia.
Kita menemukan hikmah dari krisis yang kita alami. Hikmahnya sekarang adalah kita mulai berani berpikir bahwa negara ternyata bisa salah. Dari dulu kita tidak pernah berani berpikir bahwa negara ternyata juga bisa salah. Presiden, menteri, camat, lurah juga bisa salah. Semoga mereka berintrospeksi diri; “Ternyata saya bisa salah”. Salah telah membuat ketidaknyamanan antar satu sama lain, salah telah memporak-porandakan kepercayaan rakyat, salah telah mencerai-beraikan kehidupan yang seharusnya harmonis dan kompak, hingga persatuan dan kesatuan bangsa di satu sisi tergiring entah kemana, sedang di sisi lain tergiring kepada perpecahan yang berbahaya bagi “kesehatan” bangsa Indonesia.
Kita semua ini rakyat kecil. Wong cilik. Kita pihak yang tidak mengerti apa-apa, yang akses informasinya paling sempit, dan karena itu kita suka gampang curiga satu sama lain, saling tuding dan memfitnah. Rakyat kecil macam kita hanya punya satu jalan untuk lebih selamat dari benturan di “lapangan bawah”, yakni saling berendah hati, tidak tergesa menyimpulkan sesuatu, memelihara persaudaraan dan iktikad baik, menghindari pertumpahan darah satu sama lain di antara sesama rakyat kecil yang lemah.
Yang penting kita melihat pada satu fokus, satu titik yang akan kita perjuangkan bersama, yaitu hijrah dari situasi jahiliah menuju situasi tauhid. Hijrah dari situasi penuh korupsidan non-akhlak, menuju keadaan yang berakhlak Islamiah. Kita fokuskan perhatian kita pada titik perjuangan, yaitu keadilan sosial. Kita berusaha terus untuk meningkatkan keberanian, meningkatkan kejujuran, keterbukaan, transparansi, dan dukung-mendukung satu sama lain.
Tanpa bermaksud mengecam siapa-siapa, kita belajar satu sama lain. Kita mensyukuri adanya gerakan mahasiswa, kita mensyukuri kiai-kiai yang berani membantu rakyat, dan seterusnya. Kita tidak perlu putus asa; dan saya juga tidak bermaksud menganjurkan pesimisme. Orang Islam tidak punya pesimisme, juga tidak punya optimisme. Orang Islam hanya melakukan amal saleh terhadap sesama manusia, bekerja keras terus-menerus dan senantiasa meningkatkan etos kerja.
Atau kita petakan saja agenda perubahan nasional, terutama perubahan ‘nasional di hati’ kita. Nomor satu yang harus kita lakukan adalah tobat; kita ubah cara berpikir supaya mengubah perhitungan akal sehat dan nurani.
Nomor dua yang harus kita lakukan adalah mengakhiri kesibukan untuk “menatap wajah” sendiri, dan mulai bersama-sama menatap satu fokus perjuangan. Bersama-sama membangun kembali peradaban Indonesia yang pancasilais, demi terorganisirnya kesatuan dan persatuan supaya tidak berat sebelah, seimbang, dan kokoh. Maksud saya: biarlah saya Syiah, biarlah dia Sunni, biarkan yang itu agak kekiri-kirian, yang sana Saminian, yang sono Aminian, yang situ Gusdurian, dan yang sini Durian... hari ini yang sama-sama kita butuhkan bukan tentang kita. Hari ini urgensi kita adalah satu fokus: bangsa ini harus diselamatkan. Bukannya Allah berfirman dalam kitab suci-Nya: ‘Dan berpeganglah kalian kepada tali Allah (secara keseluruhan dan janganlah bercerai-berai/terpecah belah”(wa’tashimuu bi hablillaahi jamii’an wa laatafarraquu) (QS. Ali Imron [3]: 103).
Nomor tiga yang harus kita lakukan adalah memulai saling berempati satu sama lain, saling menghargai dan mensyukuri potensi pihak lainnya, menghentikan penyakit jiwa saling curiga dan intersinisme, mengistirahatkan kebiasaandhonn dan fitnah, mulai menggagas jaringan, penyatuan, dan sinergi nasional. Ya, untuk satu fokus itu.[]

*Sebagai ‘penyegaran kembali’ dari Warga Pergerakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here