Agama Kotak-kotak - Sastri Pustaka

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Senin, 23 Oktober 2017

Agama Kotak-kotak

Diskursus tentang pluralisme agama, merupakan salah satu agenda keagamaan yang tampaknya senantiasa hangat untuk dibincangkan saat sekarang ini. Setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralitas tersebut. Ketegangan kreatif yang ditimbulkan dalam konteks pluralitas ini sering dijadikan tema dalam kajian perkembangan agama-agama di dunia.
Terkait dengan hal tersebut, sikap yang diambil oleh para pemeluk agama dalam merespon menguaknya isu pluralitas agama memang tidaklah seragam, sesuai dengan cara pandang terhadap realitas tersebut dan pemahaman atas sumber-sumber dasar keyakinan yang dianutnya. Tidak jarang sikap-sikap tersebut bertentangan. Bahkan sikap para pemeluk suatu agama tertentu juga bervariasi, meskipun masing-masing sikap yang berbeda itu berdasar pada legitimasi dari sumber suci yang sama.
Pengakuan Terhadap Keragaman Agama
Secara etimologis, pluralisme berasal dari kata dasar “plural” yang berarti “banyak”. Adapun secara terminologis, istilah plurlisme (pluralism) memiliki arti “Keberadaan kelompok-kelompok yang berbeda dari segi etnik, pola budaya, agama dan lain-lain dalam suatu Negara”.
Berikutnya, kata “pluralisme” sendiri ketika dihubungkan dengan kata agama, maka istilah “pluralisme agama” menekankan dan merujuk kepada sikap dan pandangan tertentu yang mendukung realitas keragaman agama tersebut. Disamping merujuk kepada adanya realitas yang plural, konsep pluralisme agama juga berhubungan erat dengan teori tertentu tentang hubungan antar-tradisi agama yang beragam dengan klaim mereka yang berbeda dan bersaing.
Diantara keragaman agama sama-sama mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk menyelematkan para pengikutnya dari siksaan dan kesengsaraan kelak di hari akhir, serta membuat para pemeluknya bahagia dunia akhirat. Namun yang demikian itu bukan barang muda yang dapat diperoleh sembarang agama melainkan ada beberapa persayaratan yang harus dipenuhi. Sebagaimana Al-Quran menegaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 62 yang artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[56], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[57], hari kemudian dan beramal saleh[58], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Ayat ini menjelaskan bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat tidak hanya diperoleh oleh para pemeluk agama islam saja. Namun, kebahagiaan dunia dan akhirat sebagaimana telah dijanjikan oleh tuhan dapat diperoleh oleh semua kalangan agama. Akan tetapi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh agama tersebut ; 1. Meng-Imani ke-Esaan tuhan. 2. Mempercayai terhadap kejadian hari akhir (Qiyamat). 3. Beramal saleh.
Melalui ayat ini Allah memberi jalan keluar sekaligus ketenangan kepada mereka yang bermaksud memperbaiki diri. Ini sejalan dengan kemurahan Allah yang selalu membuka pintu bagi hamba-hambaNya yang insaf. Karena itu ditegaskan bahwa: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ,yakni yang mengaku beriman kepada Nabi Muhammad saw, orang orang Yahudi, yang mengaku beriman kepada Nabi Musa as, dan orang-orang Nasrani yang mengaku beriman kepada Isa as, dan orang-orang Shabiin, kaum musyrik atau penganut agama dan kepercayaan lain. Siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian sebagaimana segala unsur keimanan yang diajarkan Allah melalui para nabi serta beramal saleh, yakni yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai yang ditetapkan Allah, maka untuk mereka pahala amal-amal saleh mereka yang tercurah di dunia ini dan tersimpan hingga di akhirat nanti di sisi Tuhan Pemelihara dan Pembimbing mereka, serta atas kemurahan-Nya; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka menyangkut sesuatu apapun yang akan datang, dan tidak pula mereka bersedih hati menyangkut sesuatu yang telah terjadi. Baca M. Qurasih Shihab
Dari ayat di atas dapat diambil ketegasan bahwa Al-Quran tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerjasama, lebih-lebih mengambil sikap tidak bersahabat diantara umat beragama. Adanya larangan menjalin persahabatan seperti misalnya tercantum dalam QS Ali Imran: 118 harus dipahami dalam konteks non-muslim yang bersikap konfrontatif alias berusaha memusuhi dan menghancurkan kaum muslim.
Sebagai aktualisasi dari ayat tersebut, misalnya Gus-Dur membolehkan seorang muslim mengucapkan selamat Natal kepada non-muslim selama akidah dapat dijaga dan tujuan pengucapannya selaras dengan apa yang dimaksud oleh Al-Quran sendiri sebagaimana dinarasikan dalam QS. Maryam. Dengan alasan yang sama, Quraish Shihab juga membolehkan seorang muslim menghadiri upacara natal yang bersifat non-ritual. Bahkan, dalam konteks yang lain, Quraish Shihab juga membolehkan mengucapkan salam kepada non-muslim dengan alasan historis. Baca M. Quraish Shihab, 1999:371
ketika demikian sikap toleransi sangat dibutuhkan diantar umat beragama asalkan tidak sampai mengadaikan iman mereka. Al-Quran pun tidak melarang kita untuk saling memusuhi dan saling kecam-mengecam satu sama lain, akan tetapi Al-Quran dengan tegas memberi
kebebasan bagi seluruh manusia untuk menentukan agamanya sendiri sebagaimana kandungan surat Al-Kahfi ayat 29: Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Ketika berbicara tentang toleransi, tentu tidak dapat terlepas dari kandungan surah Al- Kahfi tesbut. Sikap toleransi Al-Quran yang memersilahkan kepada non-muslim untuk menganut apa yang mereka yakini sesuai dengan keinginan dan kehendak bebas. Dalam konteks ini, seandainya pun mereka mengetahui tentang ajaran agama yang benar dan mereka tetap bersikeras menolaknya, Tuhan pun tidak mempersoalkan hal tersebut sebagaimana statement Al-Quran sendiri:
Berangkat dari pandangan tentang ayat-ayat bernuansa toleransi antar umat beragama tersebut, Gus-Dur tampaknya memiliki sikap yang sangat toleran dan inklusif dalam membangun hubungan antar umat beragama (interreligious relationship) dengan satu catatan tidak mengorbankan akidah.
Selanjutnya, Lebih jauh Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa surat Al-Kafirun, terutama ayat yang terakhir, merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik. Dengan adanya statement bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku, masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat kepada orang lain. Dalam konteks ini, absolutisitas ajaran agama menurut Quraish Shihab adalah sikap ke dalam (internal attitude). Baca : M. Quraish Shihab
Berangkat dari paparan di atas, dapat diambil konklusi bahwa keragaman agama tidak dapat dinegasikan lagi dan sudah merupakan hal yang wajib diakui oleh semua kalangan termasuk oleh kaum muslimin itu sendiri, namun dari keberagaman agama tersebut kita sebagai umat muslim sejati tidak boleh menetukan sikap mana yang terbaik dan mana yang paling benar di antra sekian banyak agama, jika dengan itu iman kita akan bergoyah. Tugas kita hanya menjalani segala ketentuan agama yang kita yakini serta berusah untuk terus meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here