Peta Dialektika Tafsir (Sejarah Perkembangan Tafsir Dari Era Formatif Hingga Afirmatif) - Sastri Pustaka

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 11 Oktober 2017

Peta Dialektika Tafsir (Sejarah Perkembangan Tafsir Dari Era Formatif Hingga Afirmatif)


Peta Dialektika Tafsir
(Sejarah Perkembangan Tafsir Dari Era Formatif Hingga Afirmatif)

Mahasiswa INSTIKA Guluk-Guluk Jawa Timur
Alghifary092@gmail.com

Ditulis sebagai edisi khusus Kajian Rutin
Ikatan Mahasiswa Tafsir al-Qur’an (Imtaq)
Kabupaten Sumenep

Abstract
Al-Qur’an, yang hakekatnya sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia (al-Huda al-Linnas) memiliki ciri khas tersendir  untuk ditafsirkan. Bahkan pada pra abad ke-17, mulai muncul metodelogi penafsiran yang multidisipliner. Ini bisa dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an dari awal turunnya hingga sekarang, sebagai respon umat islam dalam upaya memahami dan mengaplikasikannya pada kehidupan. Merujuk pada fakta sejarahnya, pemahaman dan penafsiran terhadap al-Qur’an tidak pernah berhenti (stagnan) atau pun menoton, akan tetapi ia terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran dan perubahan zaman pada putaran sejarah. fakta itulah yang memunculnya beragam madzhab, corak serta metode dalam penafrsiran al-Qur’an. Dimensi internal al-Qur’an itu sendiri memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable), dan masing-masing  penafsir  ketika melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an, biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural, pendekatan disiplin ilmu tertentu, bahkan situasi politik yang melingkupinya (Horizon pra asumsi) sangat berpengaruh pada hasil penafsiran seorang mufassir. Sehingga  meskipun objek kajiannya tunggal, yakni teks al-Qur’an, namun faktanya hasil penafsirannya terhadap al-Qur’an  tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karena itu, munculnya Madzhab, metode, corak serta keragaman  karya Tafsir itu sendiri tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam. Tidak salah jika dikatakan peradaban islam adalah peradaban teks (hadlarah al-nash).  Khazanah keilmuan tafsir al-Qur’an dari masa masa awal selalu mengalami perkembangan dan perubahan dialektika serta memiliki dimensi karakter dan corak yang plural, sehingga ada nuansa yang berbeda. Hal yang demikian itu tidak lepas tentunya dari faktor sejarah, politik dan perkembangan ilmu pengetahuan pada tiap tiap zamannya.

Kata Kunci :
Sejarah, Deialektika, Tafsir

PENDAHULUAN

Faktor-Faktor Diversity Penafsiran
Tidak bisa kita pungkiri, bahwa kitab suci umat islam, yakni al-Qur’an, adalah satu. Akan tetapi pada realitas yang terjadi dipanggung khazanah pemikiran islam, penafsiran terhadapnya beragam. Itu semua tidak mengherankan, yang pada dasarnya teks al-Qur’an sendiri memang berpeluang untuk ditafsiri dengan beragam, karena ayat-ayat al-Qur’an bersifat Yahtamil Wujuh al-Ma’na, ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Martin Whittingham – One Book Many Meanings – (satu kitab banyak makna). Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Darda’, yang juga dikutip oleh Muhammad Arkoun, bahwa: “La yafqah al-rajul kull al-fiqh hatta yara fil Qur’an wujuhan katsirah”. Artinya , seseorang belum dikatakan benar-benar paham terhadap al-Qur’an, sehingga ia dapat melihat berbagai wajah penafsiran yang banyak di dalamnya. Melihat dari hal tersebut, bisa diraba mengapa secara historis-faktual, seiring dengan perjalanannya, penafsiran terhadap al-Qur’an mulai menggunakan berbagai perangkat dan dimensi pendekatan pendekatan penafsiran. Itu semua berangkat dari latar belakang faktor keilmuan ataupun konteks sosio-historis penafsiran berperan dan meramaikan dalam warna dan corak bursa dialektika penafsiran al-Qur’an.
Secara teologis-normatif, memang, kebenaran al-Qur’an adalah mutlaq, dikarenakan ia datang dari Dzat yang maha benar dan mutlaq, yakni Allah SWT. Namun demikian, yang mutlaq tersebut, masuk dan dipahami oleh “memori pemikiran” manusia yang terbatas, lalu ia berubah menjadi relatif kebenarannya, karena tidak mungkin yang sifatnya relatif itu, yakni pemikiran manusia, akan mampu untuk menangkap dan memahami sesuatu yang bersifat mutlaq tersebut (al-Qur’an). Berangkat dari hal tersebut, dan sebagimana yang telah dijelaskan diatas, meskipun al-Qur’an itu satu, tetapi hasil dari pemahaman dan penafsiran atas teks tersebut (baca, al-Qur’an) mengalami diversity (keragaman). Bahkan bukan hanya itu, hasil dari sebuah penafsiran, sampai pada taraf kontradiktif antara penafsiran satu dengan yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan relativitas sebuah kebenaran penafsiran, yang artinya bahwa, kebenaran kebenran yang ditangkap oleh “disket pemikiran” manusia tentang pemahamannya terhadap al-Qur’an tersebut bukanlah kebenaran yang mutlaq, akan tetapi hanya sampai pada kebenaran yang bersifat relatif.
Dari realitas keniscayaan akan diversity penafsiran al-Qur’an itu, tidak heran jika kemudian memunculkan madzhab-madzhab tafsir yang berkembang dari era awal hingga sekarang. Setidaknya ada dua faktor, secara teoritik, yang menyebabkan keragaman itu terjadi, yaitu:
Pertama, faktor internal (al-‘awamil al-dakhiliyyah).  Artinya, faktor itu muncul dari hal hal yang berada di dalam internal teks al-Qur’an sendiri. Dari segi kondisi objektif teks al-Qur’an itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca beragam (tanawwu al-Qira’at). Ini juga tidak mengherankan, sebab, al-Qur’an itu sendiri diturunkan dengan sab’atu ahruf. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa ketika malaikat jibril membacakan satu huruf (membacakan dari ayat al-Qur’an) maka Rasul menyampaikan tambahan bacaan sampai berakhir pada tujuh huruf. Sekali lagi sejarah membuktikan hal tersebut, pada era awal saja (pada masa sahabat) keberagaman bacaan (qira’at) al-Qur’an itu sudah terjadi, bagaimana ketika kebijakan khalifah Utsman tidak memasukkan qira’at Ibn Mas’ud tidak dimasukkan kedalam mushaf-nya, dikarenakan tidak disepakati oleh panitia yang ditugaskan oleh khalifah Ustaman saat itu. Itu hanya sebagian kasus yang membuktikan bahwa keniscayaan keragaman bacaan terhadap al-Qur’an tidak bisa kita pungkiri.  Kemudian, kondisi objektif teks al-Qur’an, terkait dengan kata atau kalimat yang ada dalam al-Qur’an memang memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam. Itu disebabkan karena, di dalam al-Qur’an itu terkadang satu kata mengandung makna ganda (Musytarak). Contoh, seperti kata al-Qur’u dapat bermakna suci, dapat pula bermakna haid. Atau kata yang mengandung makna majaz atau hakiki, contoh misalnya, kata a’ma (buta) bisa bermakna buta mata lahiriah dan bisa pula bermakna buta mata batiniyahnya. Bahkan dalam perkembangannya, satu kata dari ayat al-Qur’an bisa mengalami perubahan perkembangan makna. Makanya sebagian ulama mengatakan bahwa al-Qur’an itu sebagai arqa al-Lughah al-samiyah (bahasa yang paling tinggi tingkat fashahah-nya).
Kedua, faktor eksternal (al-‘awamil al-kharijiyyah). Faktor-faktor yang berada diluar teks al-Qur’an, adalah situasi dan kondisi yang melingkari para seorang penafsir itu sendiri, termasuk kedalam faktor eksternal adalah kondisi sosio-kultural, konteks politik, paradigma, pra anggapan, serta kecendrungan pendekatan yang dipakai oleh seorang penafsir. Hal itu, jika di dalam teori hermeneutika, disebut Prior Text atau dalam istilah gramatika bahasa arab al-afaq al-musbiqah (Horizon atau asumsi yang mendahului) disaat seorang penafsir melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an, baik itu disadari atau tidak disadari.
Sebagai sebuah ilustrasi kecil, saat terjadinya konflik politik antara pendukung Sahabat Ali bin Abi Thalib dengan Sabahat Mu’awwiyah yang pada akhirnya melahirkan aliran-aliran teologi, seperti Syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah. Dari masing-masing aliran tersebut sama-sama mencari legitimasi dan justifikasi terhadap pemahaman mereka untuk menguatkan dan mendukung dengan merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an. Belum lagi pada perkembangan selanjutnya juga muncul aliran teologi kelanjutan, seperti Mu’tazilah, Qadariah, Jabariah dan Ahlus Sunnah, yang mana aliran-aliran tersebut muncul tidak semata-mata karena faktor teologis, akan tetapi juga syarat dengan faktor politik. Sehingga pada perjalanannya muncul tafsir tafsir yang bercorak terhadap aliran-aliran tersebut diatas, untuk mencari legitimasi, agar sejalan dengan doktrin mereka.

Peta Dialektika Perkembangan Tafsir
Tafsir al-Qur’an dalam sejarah dan perkembangannya mengalami beberapa periode yaitu periode Formatif, Afirmatif dan Reformatif. Periode Formatif adalah pembentukan kembali system doktrin, dengan nalar quasi-kritis. Periode ini memiliki tahapan perintisan dan tahap perumusan. Periode ini mencakup epistem tafsir Nabi yaitu mengungkap isi, makna, praktek dan semangat al-Qur’an. Tafsir Sahabat dilihat dari metodologi dengan menggunakan metode tekstual, kontekstual dan linguistic. Juga tafsir Tabiin dengan menggunakan pendekatan aliran-aliran seperti Ahlul hadis dan Ahlul ra’yi dan tafsir imam-imam madzhab.
Periode Afirmatif adalah periode yang menggunakan dengan nalar ideologis. Periode dimana tafsir mengalami perkembangan, pada periode perkembangan ini banyak bermunculan tafsir yang bersifat ideologis, sehingga muncul mazhab-mazhab tafsir, seperti madzhab kalam, contoh, tafsir Mu’tazilah dan tafsir Asy’ariyah. Dan juga berkembang tafsir mazhab-mazhab fiqih seperti tafsir Hanafiyah, tafsir Malikiyah, tafsir Syafi’iyah dan tafsir Hanabilah.
Periode Reformatif atau periode pembahuruan, pada periode kental dengan tafsir dengan nalar kritis. Pada periode ini muncul tafsir Moderenisme, Neo-Modernisme dan Revivalisme. Perkembangan tafsir ini muncul untuk merumuskan ulang system doktrin untuk merspon perubahan sejarah dan zaman. Respon terhadap tafsir ada yang reaktif  yakni menolak perubahan sejarah dan respon yang kreatif yakni memberikan ruang akal dan pengalaman untuk merespon perubahan zaman.
Tafsir Modernisme yaitu sebuah tafsir atau doktrin yang sesuai dengan perubahan seperti respon atas isu-isu baru. Dalam merespon itu semua biasanya dilakukan secara sporadis  tidak sistematis sehingga bisa jadi ajarannya sudah sesuai tetapi mentalnya tidak sesuai. Tafsir Neo-Modernisme, tafsir ini merespon secara kreatif dengan akal dan pengalaman secara lebih sistematis tidak sporadis untuk melakukan suatu pembaharuan. Dan tafsir Revivalisme, yaitu tafsir fundamentalis yang bersumberkan pada idiologi dengan pendekatan skripturalistik dan rasionalisme idiologis.
Dalam memahami sebuah tafsir tentu tidak terlepas dari pemahaman tentang paradigm tafsir itu sendiri yaitu suatu pandangan fundamental tentang al-Qur’an atau tafsir al-Qur’an. Seperti Abu Hayan mengatakan tafsir adalah suatu ilmu yang membahas tentang pengungkapan (ada objek, sistematika dan metode) kata-kata al-Qur’an, arti dari kata-kata itu dan hukum-hukumnya dengan ketentuan yang berlaku baik ketika berdiri sendiri (istisyqoq) dan ketika dalam susunan kalimat (tarkib) serta makna-maknanya dalam susunan kalimat. Al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang kompleks tentu harus mengungkapkan makna, bacaan al-Qur’an dan cara pengucapannya.
Akan tetapi disini, saya akan mencukupkan pada pembahasan pada periode formatif dan afirmatif. Karena, tidak cukup jika kita akan membahas ketiga periode dalam satu tatap muka kajian diskusi. Bahkan, dua pembahasan pada dua periode ini-pun terlalu luas untuk kita kaji dalam satu tatap muka kajian diskusi. Sehingga penulis akan mencukupkan pada dua periode saja. Sehingga nantinya akan bisa dipahami dengan jelas dan sistematis.

PEMBAHASAN
Epistimologi Tafsir Era Formatif
Sebelum masuk membahas terkait epistem tafsir era formatif, perlu diketahui lebih dulu, pengertian formatif (klasik) disini berbeda dengan pengertian klasik pada sejarah peradaban barat, jika di barat, yang dimaksud periode klasik itu dihitung dari zaman Yunani kuno hingga abad ke-5 M. Sementara, periode klasik dalam sejarah penafsiran al-Qur’an, dimulai sejak zaman Nabi dan Sahabat, abad ke-I H, hingga abad ke II H, yakni era generasi Tabi’in dan sampai era Tabi’it Tabi’in.  Tafsir era formatif dalam epistimologi adalah tafsir yang bersumber kepada tradisi yaitu kebiasaan masyarakat, ajaran dan pandangan yang dikemukakan oleh para tokoh yang dipandang memiliki otoritas untuk mengemukakan pandangan-pandangan keagamaan. Adapun tokoh yang dianggap memiliki otoritas adalah Nabi, Sahabat, Tabiin, Ulama, Israiliyyat dan kebiasaan masyarakat, baik itu kebiasaan lama (al-Aadah) atau kebiasaan baru (al-Urf).
Tafsir era formatif  yang lebih dikenal dengan tafsir bil ma’sur adalah tafsir yang bersumber atau disandarkan secara langsung atau tidak langsung kepada riwayat-riwayat dari Nabi Muhammad SAW, para Sahabat dan Tabiin. Sehngga epistimologi tafsir formatif  itu adalah langsung kepada kutipan riwayat-riwayat yang menjelaskan suatu makna dari al-Qur’an.
Tafsir klasik yang langsung disandarkan kepada Nabi adalah tafsir yang dititikberatkan kepada isi yaitu untuk menjelaskan suatu makna ayat, seperti makna  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّي kebanyakan Mufasir menjelaskan makna tersebut berdasarkaan riwayat-riwayat hadis bahwa lafadz al-Magdub itu untuk orang Yahudi dan lafadz ad-Dhaaliin adalah orang Nasrani. Walaupun didalam kalimat tersebut masih dapat digali makna lain seperti al-Magdhub yang dimaksud adalah orang  mengetahui kebenaran tetapi tidak mau menjalani kebenaran dan ad-Dhaaliin adalah orang yang mencari kebenaran tetapi tidak mendapatkan kebenaran itu sendiri.
Tafsir klasik  juga menjelaskan sebuah praktek Nabi SAW seperti; صلوا كما رأيتموني أصلي “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. Tafsir klasik  juga menjelaskan suatu semangat dari apa yang disampaikan oleh Nabi untuk di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari seperti akhlak budi pekerti.  إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَق “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnkan (memperbaiki) akhlak”. Tafsir klasik  selain yang langsung disandarkan kepada Nabi juga bersifat tidak langsung seperti ucapan Umar bin Khatab : “Bekerjalah untuk duniamu seolah kamu akan hidup selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok”. Perkataan ini selaras dengan firman Allah:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار
“Dan diantara mereka ada orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka”. Demikian pula kutipan Umar bin Khatab tentang haramnya menikahi seorang musyrik atau musyrikah dalam surat al-Baqarah ayat 221: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedngkan Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. Larangan menikahi perempuan musyrik atau menikahi seorang laki-laki yang musyrik adalah bersifat umum baik wanita musyrikah dari golongan Yahudi, Nasrani atau Islam.
Tafsir klasik  tidak hanya disandarkan kepada Nabi atau Sahabat tetapi juga disandarkan kepada Tabiin. Seperti perkataan Qatadah dalam menjelaskan al-Baqarah: 275: “orang-orang yang makan (mengambil riba) tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan penyakit gila). Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambil terdahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni nereka, mereka kekal di dalamnya”.
Tentang keharaman riba, yang dimaksud adalah riba yang terjadi dalam jual beli yang sudah jatuh tempo atau disebut riba konsumtif.  Orang–orang yang mengambil tidak akan tentram jiwanya seperti orang yang kemasukan syetan. Keharaman riba inipun hanya berlaku setelah turun ayat ini sedangkan riba yang terjadi sebelum turun ayat ini boleh tidak di kembalikan. Inilah yang dimaksud haramnya riba menurut Qatadah dan ini pula yang dipakai rujukan dalam tafsir klasik .
Seorang Mufasir yang menempuh cara ini (klasik) biasanya menelusuri lebih dahulu atsar-atsar yang ada mengenai makna ayat kemudian atsar tersebut dikemukakan sebagai tafsir ayat bersangkutan. Dalam hal ini ia tidak boleh melakukan ijtihad untuk menjelaskan sesuatu makna tanpa ada dasar, juga hendaknya ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna atau bermanfaat untuk diketahui selama tidak ada riwayat yang shahih mengenainya. Ibnu Taimiyah berkata: kita wajib meyakini bahwa Nabi telah menjelaskan kepada para Sahabat makna-makna al-Qur’an sebagaimana telah menjelaskan kepada mereka lafadz-lafadznya. Firman Allah SWT
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون
“Agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”
Tafsir klasik (yang lebih kental dengan penafsiran bil ma’tsur) berkisar pada riwayat-riwayat yang dinukil dari pendahulu umat ini. Perbedaan pendapat yang terjadi diantara mereka sedikit sekali jumlahnya dibanding dengan yang terjadi diantara generasi sesudahnya. Perbedaan itupun sebagian besar terletak pada aspek redaksional sedang maknanya tetap sama, atau hanya berupa penafsiran kata-kata umum dengan salah satu makna yang dicakupnya. Dan pada umumnya perbedaan itu hanya berkonotasi variatif bukan kontradiktif. Perbedaan itu dapat diklasifikasikan menjadi dua macam:
Pertama, seorang Mufasir mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan redaksi Mufassir lain dan masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang berbeda pula tetapi maksud semuanya adalah sama. Contoh penafsiran kalimat صراط المستقيم  sebagian ditafsirkan dengan al-Qur’an dan sebagian lagi dengan Islam. Sesungguhnya kedua tafsir sama maksudnya karena Islam adalah mengikuti al-Qur’an, hanya saja masing-masing penafsiran menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh yang lain.
Kedua, seorang Mufasir menafsirkan kata-kata yang berifat umum dengan menyebutkan sebagian makna dari sekian banyak macamnya. Sebagai contoh adalah firman Allah:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lau diantara mereka ada yang menganiyaya diri mereka sendiri dan diantara mereka ada yang pertentangahan dan diantara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah, yang demikian itu adalah karunia Allah”. Penafsiran pertama kalimat sabiq maksudnya adalah orang yang menunaikan shalat di awal waktu, muqtasid adalah orang yang melakukan shalat di tengah waktu sedangkan dhalim maksudnya adalah orang yang mengakhirkan shalat ashar sampai langit berwarna kekuning-kuningan. Sedangkan Mufasir lain mengatakan bahwa sabiq adalah orang yang berbuat baik dengan sodakoh dan zakat, muqtasid adalah orang yang hanya menunaikan zakat wajib saja dan dhalim adalah orang yang enggan membayar zakat.
Terjadinya perbedaan dalam mentafsirkan sesungguhnya disebabkan sebuah lafadz itu mengandung dua makna atau karena beberapa lafadz yang dipakai mengungkapkan makna-makna yang saling berdekatan. Kedudukan tafsir bil ma’sur adalah tafsir yang harus diikuti dan dipedomani karena ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan yang aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami Kitabullah. Menurut Ibnu Abbas tafsir itu ada empat macam
1. Tafsir yang dapat diketahui oleh orang arab melalui bahasa mereka sendiri, yaitu tafsir yang merujuk kepada tutur kata mereka melalui penjelasan bahasa.
2. Tafsir yang dapat diketahui oleh setiap orang, yaitu tafsir menegenai ayat-ayat yang maknanya mudah dimengerti seperti nash-nash yang mengandung hukum-hukum syar’i dan dalil-dalil tauhid secara jelas.
3. Tafsir yang hanya diketahui hanya oleh ulama atau ahli tafsir, maksudnya tafsir yang merujuk kepada ijtihad yang didasarkan pada bukti-bukti dan dalil-dalil.
4. Tafsir yang sama sekali tidak mungkin diketahui oleh siapapun selain Allah, tafsir ini berkisar kepada hal-hal yang ghaib seperti kapan terjadinya kiamat, tentang hakikat roh.
Corak lain dari tafsir klasik  adalah menghindari adanya takwil ayat, seperti Ibnu Jarir at-Tabari mengemukakan berdasarkan penjelasan Allah nyatalah bahwa diantara kandungan al-Qur’an yang diturukan Allah kepada NabiNya terdapat ayat-yat yang tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali dengan penjelasan Rasulullah (hadis). Dalam hal ini tidak boleh seorangpun mentafsirkannya tanpa ada penjelasan resmi dari Rasulullah baik secara tegas atau dengan dalil-dalil yang dapat dijadikan pedoman oleh umat untuk mentafsirkannya. Tafsir sebagai sebuah turas tentunya bukanlah wujud yang terlepas dari realitas yang dinamis, berubah dan berganti yang mengekpresikan zaman, pembentukan generasi dan fase perkembangan sejarah. Jadi turas adalah kumpulan tafsir yang diberikan oleh setiap generasi berdasarkan pada syarat-syaratnya. Turas bukanlah sekumpulan keyakinan teoritis yang permanen maupun kebenaran-kebenaran abadi yang tidak berubah, tetapi kumpulan perwujudan teori dalam lingkungan teretentu.
Dari pemahaman terhadap tafsir klasik  ini akan melahirkan dan membentuk sebuah struktur keagamaan masyarakat dengan pola dasar pertama al-Qur’an,  hadis lalu tradisi (tradisi orang-orang salaf) kemudian umat atau masyarakat yang terbentuk dengan tradisi tersebut. Hal ini adalah suatu hal yang mesti terjadi sebagaimana struktur keagamaan pada tafsir rasional akan melahirkan tradisi yang modernis, struktur keagamaan tafsir revivalis melahirkan agama atau masyarakat yang idiologis dan tafsir kontekstual akan melahirkan sebuah struktur keagamaan yang otensitas atau kemaslahatan umat.
Kitab-Kitab Tafsir bil Ma’sur
Beberapa contoh kitab-kitab tafsir bil ma’sur yang terkenal adalah tafsir Ibnu Abbas, Ibnu Uyainah, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir at-Tabari (w. 310 H) tafsir Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an), Abil Fida al-Hafidz Ibnu Katsir (w. 774 H) Tafsirul Qur’anil Adzim), al-Baghawi (w. 516 H) tafsir ma’alim al-Tazil, as-Suyuti (w. 911 H) tafsir al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’sur, dan yang lainnya. Berikut sekilas penjelasan tentang kitab-kitab tafsir bil ma’sur yang dikenal disebagian besar masyarkat kita.
1.      Tafsir Jaami’ul Bayan fi Tafsir ayy al-Qur’an
Pengarang tafsir ini Ibnu Jarir at-Tabari adalah dipandang sebagai salah seorang tokoh terkemuka yang mengusai benar berbagai disiplin ilmu dan telah meninggalkan warisan keislaman cukup besar yang senantiasa mendapat sambutan baik disetiap masa dan generasi.  Ia mendapatakan popularoitas luas melalui dua buah karyanya Tarikh al-umam wa al-mulk tentang sejarah dan Jaami’ al-bayan fi tafsir ayy al-Qur’an tentang tafsir. Kedua buku tersebut termasuk diantara sekian banyak rujukan ini paling penting. Bahkan buku tafsirnya merupakan rujukan utama bagi para Mufasir yang menaruh perhatian terhadap tafsir bil ma’sur. Tafsir Ibnu Jarir terdiri dari tiga puluh jilid, masing-masing berukuran tebal, Darul a’rif Mesir telah menerbitakn dan mempublikasikan kitab Ibnu Jarir tersebut yang ditangani secara baik, hadis-hadisnya ditazkhrijkan oleh Ahmad Muhaammad syakir.
Tafsir Ibnu Jarir merupakan sebuah tafsir yang bernilai tinggi yang sangat diperlukan oleh seitap orang yang mempelajari tafsir. As-Suyuti menjelaskan kitab tafsir Ibnu Jarir adalah tafsir paling besar dan luas. Didalamnya ia mengemukakan  berbagai pendapat dan pertimbangan mana yang paling kuat serta membahas i’rab dan istinbat. Karena itulah ia melebihi tafsir-tafsir karya para pendahulu. Imam Nawawi berkata “Umat telah sepakat bahwa belum pernah disusun sebuah tafsir pun yang sama dengan tafsir at-Tabari”.
Tafsir at-Tabari adalah tafsir kitab paling tua yang sampai kepada kita secara lengkap. Sementara tafsir-tafsir yang mungkin pernah ditulis orang sebelumnya tidak ada yang sampai kepada kita  kecuali hanya sedikit sekali, itupu terselip di celah-celah kitab at-Tabari tersebut. Metode yang diikuti Ibnu jarir dalam tafsirnya ialah apabila hendak menafsirkan suatu  ayat al-Qur’an ia berkata: pendapat mengenai tafsir firman Allah ini begini dan begitu. Kemudian ia menafsirkan dengan mendasarkan pada pendapat Shabat dan Tabiin yang diriwayatkan dengan sanad yang lengkap yakni tafsir bil ma’sur berasal dari mereka. Ia tidak hanya meriwayatkan tetapi juga mengkonfrontir pendapat tersebut dengan yang lain kemudian mentarjihkan salah satunya. Disamping itu ia juga menerangkan aspek i’rab jika hal itu dianggap perlu dan mengistinbatkan sejumlah hukum. Terkadang pula ia mekritik sanad tak ubahnya seperti kritikus sanad berpengalaman. Ibnu Jarir juga menaruh perhatian besar terhadap masalah qiraat dengan menyebutkan bermacam-macam qiraat dan menghubungkan msing-masing qiraat dengan makna yang berbeda-beda. Dikatakan bahwa ia telah menulis sebuah karangan khusus mengenai qiraat.
Ibnu Jarir meriwayatkan berita yang bersumber dari kisah Israiliyyat tetapi cerita itu ia susun dengan pembahasan dan kritikan. Ia sangat memperhatikan penggunaan bahas arab sebagai pegangan disamping riwayat-riwayat hadis yang dinukil. Sebagai seorang Mujtahid juga banyak membicarakan hukum fiqih ia sebutkan pendapat para ulama dan madzhab kemudian ia menyatakan pendapat sendiri sebagai pendapat yang dipilihnya dan dipandang kuat.
2. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim Ibnu Katsir.
Pengarang Tafsir al-Qur’an al-Adzim adalah Ibnu Kasir yang nama lengkapnya Imaduddin Abul Fida Ismail bin Amr bin Kasir adalah seorang imam besar dan seorang hafidz. Ia belajar kepada Ibnu Taimiyah dan mengikuti sebagian dalam sejumlah besar pendapatnya.
Para ulama banyak mengakui keluasan ilmunya terutama dalam bidang tafsir, hadis dan sejarah. Tafsir Quranil Adzim merupakan tafsir paling terkenal diantara sekian banyak tafsir  bil ma’sur yang pernah ditulis orang dan  menduduki peringkat kedua sesudah kitab Ibnu Jarir at-Tabari. Ibnu kasir menafsirkan Kalamullah dengan hadis dan asar yang disandarkan kepada pemiliknya serta membicarakan pula masalah jarh dan ta’dil yang diperlukan, mentarjihkan sebagian pendapat atas yang lain, menetapkan dhaif (lemah) pada sebagian riwayat dan menyatakan shahih pada riwayat yang lain. Keistimewaan Ibnu Kasir terletak pada seringnya akan riwayat-riwayat Israilayyat munkar (tertolak) yang terdapat dalam tafsir bil ma’sur. Juga pada pengungkapan berbagai pendapat ulama tentang hukum fiqih yang kadang-kadang disertai pendiskusian atas madzhab dan dalil yang dikemukakan mereka masing-masing. Tafsir Ibnu Kasir ini diterbitkan bersama (bergabung) dengan ma’alimut tanzil karya al-Bagawi. Juga diterbitakan secara terpisah dalam empat jilid berukuran besar. Syekh Ahmad Syakir menangani pula penerbitannya sesaat menjelang wafat, sesudah sanad-sandanya.

Epitemologi Tafsir Era Afirmatif
Tafsir era afirmatif ini adalah era penafsiran dengan nalar ideologis. Perkembangan karya tafsir kali ini memasuki era afirmatif (pertengahan), yaitu pada sekitar abad ke-3 sampai abad ke-16 Hijriah, Periode pertengahan ini dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang sistematis dan sampai ke tangan generasi sekarang dalam bentuk buku. Dalam peta sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan dikenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan. Perhatian resmi dari pemerintahan dalam hal ini menjadi stimulus yang sangat signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan sendiri.
Periode ini, salah satunya, ditandai dengan berkembang pesatnya forum diskusi antar ahli berbagai cabang ilmu, antara lain tentang filsafat, kalam, dan hadits. Hal ini mengundang adanya justifikasi kebenaran dari masing-masing pihak, khususnya tentang Al-Qur’an. Inilah yang menurut Abdul Mustaqim menjadi suatu “embrio” akan saratnya kepentingan subjektif yang mewarnai produk tafsir pada masa ini. Terlebih lagi ketika pemerintah mendukung madzhab atau aliran tertentu, karena kuatnya pengaruh pemerintah dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Era pertengahan merupakan zaman keemasan dalam sejarah peradaban Islam dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat seiring dengan masuknya cabang ilmu pengetahuan yang berasal dari luar (baca : Yunani, Eropa) seperti Filsafat dan cabang ilmu yang lain. Filsafat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap tokoh-tokoh muslim sehingga bersentuhan dengan cabang ilmu keislaman sendiri seperti fiqh, tasawuf, kalam baik dalam hal dinamika.
Pada pemerintahan Daulah Abbasiyah perkembangan peradaban manusia khususnya ilmu pengetahuan mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah. Perhatian pemerintah terhadap kemajuan ilmu pengetahuan diwujudkan dengan penerjemahan buku-buku ilmiah atau pengiriman delegasi ilmiah ke pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia yang terkenal, maupun dibukakannya forum-forum ilmiah terbuka yang dihadiri oleh seluruh ilmuwan.
Forum dialog antar ilmuwan memicu arogansi keilmuwan yang mengantarkan pada  perdebatan yang berakhir dengan saling mendiskreditkan satu sama lain. Kelompok mutakallimin  adu argumentsi dengan penggemar filsafat, antar ahli kalam dengan ahli hadits. Yang lebih tragis lagi adalah perdebatan yang berakhir dengan pembunuhan. Contoh Pereselisihan yang terjadi diantara ulama sunni mayoritas  dengan kaum rasionalis (Ahl al-Ra’y)  minoritas memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan kemarahan  hingga terjadi luapan darah.
Setelah periode sahabat beserta tabiin, pergerakan dari pertumbuhan tafsir mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan terhadap hadits Nabi Saw. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa dari penguasa (khalifah) yang berkuasa pada saat itu (masa akhir dari Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyyah).
Pada akhir abad ke-3 H dan permulaan abad ke-4 H, geliat tafsir mengalami perubahan genre. Dari pembukuan yang masih menjadi satu dengan hadits-hadits selain tafsir, menuju pembukuan tersendiri yang hanya memuat riwayat-riwayat tafsir dan sesuai dengan urutan ayat-ayat Al Qur’an. Ibn Jarir al Thabari (w. 310 H) diakui sebagai orang pertama yang melakukan terobosan besar ini melalui karyanya Jami’ al Bayan fi Ta’wil Ay Al Qur’an.
Forum dialog antar ilmuwan memicu arogansi keilmuwan yang mengantarkan pada  perdebatan yang berakhir dengan saling mendiskreditkan satu sama lain. Kelompok mutakallimin  adu argumentsi dengan penggemar filsafat, antar ahli kalam dengan ahli hadits. Yang lebih tragis lagi adalah perdebatan yang berakhir dengan pembunuhan. Contoh Pereselisihan yang terjadi diantara ulama sunni mayoritas  dengan kaum rasionalis (Ahl al-Ra’y)  minoritas memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan kemarahan  hingga terjadi luapan darah.

Karakteristik Tafsir Era Afirmatif
Setiap kitab tafsir memiliki karakteristik sendiri-sendiri, sesuai dengan pemikiran dan pemahaman Mufassirnya. Pada abad pertengahan sendiri, salah satu hal yang mendominasi penafsiran adalah berdasarkan kepentingan. Implikasinya, al-Qur’an ditafsirkan untuk melegitimasi pendapat-pendapat individu atau kelompok yang berkepentingan. Adapun karakteristik pada periode pertengahan adalah sebagai berikut :
Pemaksaan Gagasan Eksternal al-Qur’an
Maksud dari gagasan eksternal al-Qur’an adalah bahwa pada zaman ini kebanyakan kitab tafsir yang dihasilkan didasarkan pada kepentingan. Oleh sebab itu, hasil penafsirannya sesuai dengan kepentingan subjektif sang mufassir. Contoh nyata karakteristik ini dapat dilihat pada salah satu tafsir yang dikarang oleh ahli fikih yang bermazhab Hanafi, al-Jashshash. Dia mengembangkan diskusi fikih mengenai perbedaan pendapat harta temuan dalam QS. Yusuf :26 yang berbunyi :
قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِي عَنْ نَفْسِي وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ أَهْلِهَا إِنْ كَانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
“Yusuf berkata : ‘dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)’, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya : ‘jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta’.” (QS. Yusuf :26)
Ayat diatas menceritakan pengalam pribadi Nabi Yusuf, dan tidak ada sangkut pautnya dengan harta rampasan. Akan tetapi, oleh Jashshash dijadikan sebagai legitimasi harta rampasan. Contoh lainnya adalah penafsiran dari Ibnu Arabi, seorang teosof yang terkenal dengan teori Wahdah al-wujud. Dia membicarakan sosok Rasul sebagai penjelmaan Tuhan karena kesatuan wujudnya ketika menafsirkan ayat surat Al-Nisa’, 80 yang berbunyi :
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. Al-Nisa’ : 80).
Bersifat Ideologis
Karakteristik bersifat ideologis ini maksudnya adalah kecenderungan cara berpikir yang berbasis pada ideology mazhab atau sekte keagamaan, ataupun keilmuwan tertentu ketika menafsirkan ayat al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi tentang hak kepemimpinan umat Islam pasca Nabi Muhammad atau Imamah Abu Bakr, justru dalam surat al-Fatihah  ayat 6-7 :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. al-Fatihah : 6-7).
Bersifat Repetitif
Umumnya tafsir periode ini menganut system mushafi. Artinya, penafsiran mengikuti tata urutan ayat dan surat dalam mushaf resmi al-Qur’an. Ini merupakan konsekuensi dari penggunaan metode tahlili yang memang popular pada saat itu. Contohnya dapat dilihat dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, ketika diskusi tentang paham Jabriyah dan Qadariyah. Disana terdapat beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan yang sangat panjang sehingga terkesan berlebihan.
Bersifat Parsial
Maksudnya adalah uraian tafsirnya cenderung sepotong-sepotong, tidak komplit sehingga kurang mendapatkan informasi yang utuh dan komprehensif ketika hendak mengkaji suatu tema tertentu. Contohnya adalah tafsir karya ath-Thabarsi yang berasal dari teologi Syi’ah abad ke-6 H, mencabut satu kata dalam ayat ke-28 dari surat Ali Imron, yakni kata tuqoh  :
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman dekat, pemimpin, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri(siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembalimu.” (QS. Ali Imron :28)
Corak Tafsir Era Afirmatif
Corak dalam literatur sejarah tafsir biasanya digunakan sebagai terjemahan dari Bahasa Arab laun yang arti dasarnya adalah warna. Corak tafsir yang dimaksud di sini adalah nuansa khusus atau sifat khusus yang memberikan warna tersendiri pada tafsir. sebagaimana sudah dimaklumi, tafsir sebagai bentuk ekspresi intelektual mufassir dalam menjelaskan pengertian ajaran-ajaran Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan manusiawinya tentu akan menggambarkan minat dan horison pengetahuan mufassirnya.
Dengan latar belakang seperti yang diuraikan di muka, mudah ditebak kala tafsir yang muncul ke permukaan pada periode ini akan didominasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu pula. Tafsir Al qur’an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik dan corak sebuah tafsir, di antara para ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yakni; pertama, metode (misalnya; metode ayat antar ayat, ayat dengan hadits, ayat dengan kisah israiliyyat), kedua, teknik penyajian (misalnya; teknik runtut dan topical), dan ketiga, pendekatan (misalnya; fiqhi, falsafi, shufi dan lain-lain).
Kemudian ada juga yang memetakannyaa dengan dua bagian. Pertama, komponen eksternal yang terdiri dari dua bagian: (1) jati diri al-Qur’an (sejarah al-Qur’an, sebab nuzul, qira’at, nasikh mansukh, munasabah, dan lain-lain). (2) kepribadian mufassir (akidah yang benar, ikhlas, netral, sadar, dan lain-lain). Selanjutnya bagian kedua, komponen internal, yaitu unsur-unsur yang terlibat langsung dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur yang digunakan yaitu: metode penafsiran, corak penafsiran, dan bentuk penafsiran.
M.Quraish Shihab, mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara lain [a] corak sastra bahasa, [b] corak filsafat dan teologi, [c] corak penafsiran ilmiah, [d] corak fiqih atau hukum, [e] corak tasawuf, [f] bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905], corak-corak tersebut mulai berkembang dan perhatian banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. Sebagai bandingan, Ahmad As, Shouwy, dkk., menyatakan bahwa secara umum pendekatan yang sering dipakai oleh para mufassir adalah: [a] Bahasa, [b] Konteks antara kata dan ayat, dan [c] Sifat penemuan ilmiah.
Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, interest, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman [capacity] dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.
Adapun beberapa corak tafsir adalah sebagai berikut:
Corak Tafsir Fikhi
Maksudnya adalah tafsir yang dibangun di atas wawasan mufassirnya dalam bidang fikh sebagai basisnya atau dengan kata lain adalah tafsir yang berada dibawah pengaruh ilmu fikh, karena fikh sudah menjadi minat dasar mufassirnya sebelum melakukan usaha penafsiran.
Dalam bentuk yang ekstrim, tafsir dalam model ini bahkan hampir menyerupai kumpulan disksi fikh menyangkut berbagai persoalan, lengkap dengan sikap pro dan kontra daripada pelakunya. Tafsir semacam ini seakan-akan melihat Al-Qur’an sebagai kitab yang berisi ketentuan-ketentuan perundang-undangan atau menganggap Al-Qur’an sebagai kitab hukum.
Embrio dari tafsir fiqhi sebenarnya sudah kelihatan semenjak nabi meninggal dunia dan muncul beberapa kasus hukum yang pada zaman nabi belum ada, sehingga belum mendapat pemecahan. Tentunya untk mendapatkan pemecahan yang benar menurut syari’at, menyebabkan mereka tertarik untuk mengkaji dasar-dasar hukumnya dari Al-Qur’an. Kemudian hal-hal seperti ini berlanjut sampai dengan munculnya berbagai madzhab hukum dan fanatisme golongan yang sedemikian kuatnya menghegemoni alam pikiran orang yang menaruh minat atas studi hukum.
Corak linguistik
Tafsir corak linguistik (al-tafsir al-lughawi) adalah tafsir yang dalam menjelaskan ayat-ayat al Qur’an lebih banyak menggunakan aspek kebahasaan dari pada pesan pokok dari ayat yang ditafsirkan. Ciri-ciri yang menonjol dalam tafsir linguistik ialah:
· Banyak menggunakan aspek semantis atau makna sebuah kata.
· Banyak menguraikan aspek sharaf (morfologi) dan isytiqaq (derivasi).
. Banyak menjelaskan aspek i’rab atu kedudukan kata dan kalimat dengan memanfaatkan teori nahwu atau gramatika bahasa arab.
·   Banyak menjelaskan aspek-aspek uslub (stilistika al qur’an).
·   Banyak menjelaskan aspek fonologi, termasuk perbedaan qiraat.
·  Banyak menjelaskan aspek majaz dan aspek lain yang bersangkutan dengan teori-teori linguistik.
Corak Tafsir Teologis
Tafsir corak teologis adalah salah satu bentuk penafsiran Al-Qur’an yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih banyak membicarakan tema-tema teologis dibanding mengedepankan pesan-pesan pokok Al-Qur'an. Sebagaimana layaknya diskusi yang dikembangkan dalam literatur ilmu kalam. Tafsir ini sarat dengan muatan sekterian dan pembelaan-pembelaan terhadap paham-paham teologis tertentu yang menjadi referensi utama bagi mufassirnya. Ayat-ayat Al-Qur'an tertentu yang nampak memiliki konotasi bebeda satu sama lain, seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teologis tertentu sebagai basis penafsirannya dan sebagai pembenar atas paham-paham tertentu.
Corak Tafsir Sufistik
Berkembangnya sufisme dalam dunia Islam ditandai dengan praktik-praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam semenjak munculnya konflik kepentinan politis sepeninggal nabi. Disamping praktik semacam ini terus berlanjut tumbuh dan berkembang hingga masa-masa berikutnya, oleh kalangan tertentu praktik semacam ini diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar teori mistiknya. Itulah mengapa kemudian muncul teori khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul, dan, wihdatul wujud. Dengan demikian berkembanglah dua sayap sufisme dalam Islam yaitu praktisi yang lebih mengedepankan sikap praktis mendekati Allah, dan para teosof yang lebih mementingkan teori-teori mistiknya.
Corak Tafsir Falsafi
Setelah kitab-kitab filsafat dari berbagai sumber di dunia diterjemahkan kedalam bahasa Arab degan modifikasi-modifikasi tertentu, akhirnya buku-buku terjemahan ini dapat dikonsumsi oleh kaum muslim kalangan tertentu. Kemudian muncullah reaksi dan respon tertentu dari kamum muslimin. Sebagian mereka menolak teori-teori filsafat tertentu lantaran mereka melihat teori-teori ini bertentangan dengan keyakinan teologis mereka. Sementara sebagian yang lain merasa kagum atas teori-teori ini dan mereka merasa mampu untuk mengkompromikan antara hikmah dan akidah antara filsafat dan agama.
Untuk mengkompromikan ini pada gilirannya ditempuh dua cara. Pertama, dengan cara mentakwilkan teks-teks keagamaan sesuai dengan pandangan para filosof. Artinya menundukkan tes tadi kepada pandangan-pandangan ini sehingga sejalan. Kedua, dengan cara menjelaskan teks-teks keagamaan dengan menggunakan berbagai pandangan dan teori filsafat. Diantara corak tafsir falsafi adalah tafsair ibn sina, al farabi, al kindi, dan ikhwan al-shafa.
Corak Tafsir ‘Ilmi
Tafsir ‘ilmi adalah tafsir yang menempatkan berbagai terminologi ilmiah dalam ajaran-ajaran tertentu Al-Qur'an atau berusaha mendeduksikan berbagai ilmu serta pandangan-pandangan filosofisnya dari ayat-ayat Al-Qur'an. Tafsir ini dibangaun berdasarkan asumsi bahwa Al-Qur'an mengandung berbagai macam ilmu baik yang sudah ditemukan maupun yang belum.
Munculnya tafsir ilmi ini juga sempat mengundan pro dan kontra di kalangan para ulama. Sebagian yang tidak setju berpendapat bahwa Al-Qur'an itu bukan buku ilmu pengetahuan, melainkan kitab petunjuk untuk umat manusia. Jika seseorang berupaya melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan dengan ayat-ayat Al-Qur'an, maka dikhawatirkan jika teori itu runtuh oleh teori yang baru, maka akan menimbulkan kesan bahwa ayat itu pun ikut runtuh, dan bahkan seolah kebenaran ayat dapat dipatahkan oleh teori baru ilmu pengetahuan. Untuk itu tidak perlu melakukan tafsir ‘ilmi, jika hanya dimaksudkan untuk melegetimasi teori-teori ilmu pengetahuan yang sifatnya relatif dan nisbi.
Dari pro dan kontra tersebut, sebenarnya dapat dicari jalan tengah yang lebih moderat, yaitu bahwa Al-Qur'an memang bukan kitab ilmu pengetahuan, namun tidak dapat disangka bahwa di dalamnya terdapat isyarat-isyarat atau pesan-pesan moral akan pentingnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Tokoh-Tokoh Tafsir Era Afirmatif
Tafsir pada periode ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan mufasir yang mendukung disiplin ilmu tertentu. Oleh karena itu, produk yang dihasilkan memiliki karakter khusus. Seperti Al farra’ adalah seorang ahli dalam ilmu bahasa dan guru beberapa pangeran abbasiyah pendukung mu’tazilah. Ibn Jarir Al Tabari seorang sejarahwan yang secara teologis posisinya mirip Asy’ari yang cenderung mengambil jalan tengah antara ahli hadis dan rasionalis mu’tazilah. Al Zamakhsyari adalah ahli bahasa dan satra yang terlahir di daerah yang berbasis mu’tazilah. Selain itu, ada Fakhruddin Ar-Razi seorang mutakallim asy’ariah yang juga ahli dalam bidang filsafat. Kemudian al-Baidlawi yang mencoba merespons capaian al-Zamakhsyari dan al-Razi.
Dalam bidang fikih, muncul Al Kiya’ Al Harasi dari mazhab syafi’i, al Qurthubi, dan ibn Arabi. Dari kalangan syi’ah muncul mulla muhsin al Rasyi, Abu Ali ath-Thabarsi, juga al Syaukani yang mewakili teologi syi’ah zaidiyah. Dari para ahli kisah muncul Abdur Rahman al Tsa’alibi, Ibn Kasir. Dalam ahli sastra ada Abu Hayyan, Jalaluddin al Mahali, al Nisaburi, al Qadli Abdul Jabbar dan lain-lain.

Kitab-Kitab Era Afirmatif
Kitab-kitab tafsir yang ada pada masa pertengahan antara lain, tafsir jami’ al-bayan an ta’wil ay al-qur’an karya Ibn Jarir al-Thabari (923 M), al-kasysyaf ‘an haqa’iq al-qur’an karya Abu Qasim Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyari (1144 M) dengan corak ideologi mu’tazilah, mafatih al-ghayb karya Fakhrudin al-Rrazi (1209 M) denga corak teologi sunni-asy’ariah, tafsir jalalain karya Jalaluddin al-Mahali (1459 M) dan Jalaluddin al-Suyuthi (1505 M) dengan corak filologi.

KESIMPULAN
Pada kesimpulan ini memang benar bahwa Al-Qur’an sendiri memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable), dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di mana ia tinggal, disiplin ilmu yang dipakai, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Sehingga meskipun objek kajiannya tunggal, yaitu teks al-Qur’an, namun hasil penafsiran al-Qur’an tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya, munculnya Madzahib al-Tafsir tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.
Dalam pendekatan epistimologi tafsir klasik  adalah tafsir yang disandarkan kepada tradisi yang sudah ada (salaf) yang disandarkan langsung kepada Nabi Muhammad SAW, Sahabat maupun Tabiin dengan menggunakan pendekatan normatif. Dalam memahami al-Qur’an ada yang memahami secara tekstual ada pula yang memahami secara kontekstual. Sesungguhnya tidak ada istilah seorang tekstualis murni atau kontekstual murni karena pada dasarnya mereka masih mengunakan teks dan akalnya. Yang membedakan adalah cara berpikir yang lebih dominan antara tekstual dan kontekstual itulah yang menentukan. Pemahaman tafsir klasik akan melahirkan sebuah struktur keagamaan dimasyarakat seperti pondasi dasarnya adalah al-Qur’an, hadis lalu tradisi (salaf) itu sendiri kemudian melahirkan suatu umat atau masyarakat klasik  yang berkarekter klasik  dalam pemahaman keagamaanya.
Adapun kemudian dari hal diatas kemudian muncullah berbagai corak penafsiran yang berkembang pada era pertengahan seperti tafsir corak fikhi, corak falsafi, corak linguistic atau kebahasaan, corak ‘ilmi, dan masih banyak corak penafsiran yang lainnya.
Tidak ada suatu karya yang sempurna dan abadi kecuali karyanya Allah (al-Qur’an) sedangkan karya manusia (tafsir) tentu memilki kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan tafsir klasik  adalah tidak bersifat sektarian yang dimaksudkan untuk membela kepentingan madzhab tertentu, tidak banyak perbedaan diantara mereka mengenai hasil penafsirannya dan selektif terhadap  riwayat-riwayat Israiliyyat yang dapat merusak akidah Islam. Sedangkan kelemahan tafsir klasik  antara lain belum mencakup keseluruhan penafsiran al-Qur’an, sehingga masih banyak ayat-ayat al-Qur’an yang belum ditafsirkan dan penafsirannya masih bersifat parsial dan kurang detail dalam menafsirkan suatu ayat sehingga kadang sulit mendapatkan gambaran yang utuh mengenai pandangan al-Qur’an terhadap suatu masalah tertentu. Apalagi harus dihadapkan untuk menjawab persoalan-persoalan zaman yang terus berkembang.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,
Imam Muslim, Shahih Muslim,
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Adab Press 2014  
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, LkiS, 2010.
Ignaz Goldziher, Madzhab al- Tafsir al-Islami (Dar-Iqra’: Beirut Libanon 1983).  
Al-Dzahabi, Muhammad Husain, Tafsir wa al-Mufassirun.
Ignaz Goldziher, Madzhab Tafsir, Dari Klasik Hingga Modern, Kalimedia, 2015.
Henry S. Lucas, Sejarah Peradaban Barat, terj. Suguharjo Sumobroto dan Budiawan (Yogyakarta:  Tiara Wacana, 1993). 
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Mesir: Lajnah at-Ta’lif wa at-Tarjamah wa al-Nasyr 1935) 
Amina Wadud, “Qur’an and Women” (New York: Oxford University, 1998).
Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism (USA: Oxford 1998)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here