Ajaran Pakai Jilbab dalam Islam - Sastri Pustaka

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Selasa, 03 Oktober 2017

Ajaran Pakai Jilbab dalam Islam

Wanita-wanita Muslim, pada awal Islam di Madinah, memakai
pakaian yang sama dalam garis besar bentuknya dengan
pakaian-pakaian yang dipakai oleh wanita-wanita pada umumnya.
Ini termasuk wanita-wanita tuna susila atau hamba sahaya.
Mereka secara umum memakai baju dan kerudung bahkan jilbab
tetapi leher dan dada mereka mudah terlihat. Tidak jarang
mereka memakai kerudung tetapi ujungnya dikebelakangkan
sehingga telinga, leher dan sebagian dada mereka terbuka.
Keadaan semacam itu digunakan oleh orang-orang munafik untuk
menggoda dan mengganggu wanita-wanita termasuk wanita
Mukminah. Dan ketika mereka ditegur menyangkut gangguannya terhadap Mukminah, mereka berkata: "Kami kira mereka hamba sahaya." Ini tentu disebabkan karena ketika itu identitas mereka sebagai wanita Muslimah tidak terlihat dengan jelas.
Nah, dalam situasi yang demikian turunlah petunjuk Allah kepada Nabi yang menyatakan:

_Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuan dan istri-istri orang Mukmin agar mengulurkan atas diri mereka jilbab-jilbab mereka. Yang demikian itu menjadikan mereka. Lebih mudah untuk dikenal(sebagai wanita Muslimah/wanita merdeka/orang baik-baik) sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS A1-Ahzab [33]: 59). _

Jilbab adalah baju kurung yang longgar dilengkapi dengan
kerudung penutup kepala.

Ayat ini secara jelas menuntun/menuntut kaum Muslimah agar
memakai pakaian yang membedakan mereka dengan yang bukan
Muslimah yang memakai pakaian tidak terhormat lagi mengundang
gangguan tangan atau lidah yang usil. Ayat ini memerintahkan
agar jilbab yang mereka pakai hendaknya diulurkan ke badan
mereka.

Seperti tergambar di atas, wanita-wanita Muslimah sejak semula
telah memakai jilbab, tetapi cara pemakaiannya belum
menghalangi gangguan serta belum menampakkan identitas
Muslimah.

Ini sebenarnya jika dibahas panjang lebar ialah Penjelasan serupa tentang pakaian. Tentang pakaian dapat kita temukan dan kita kaji pada surat Al-Nur
(24): 31.

_Katakanlah, kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang tampak darinya. Hendaklah mereka mengulurkan menutupkan kain kudung kedadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau mertua mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang yang beriman, supaya kamu beruntung_ .

Surat Al-Nur (24): 31 tersebut kalimat-kalimatnya cukup jelas.
Tetapi yang paling banyak menyita perhatian ulama tafsir
adalah larangan menampakkan zinah (hiasan) yang dikecualikan
oleh ayat di atas dengan menggunakan redaksi illa ma zhahara
minha [kecuali (tetapi) apa yang tampak darinya].

Mereka sepakat menyatakan bahwa zinah berarti hiasan (bukan
zina yang artinya hubungan seks yang tidak sah); sedangkan
hiasan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk memperelok,
baik pakaian penutup badan, emas dan semacamnya maupun
bahan-bahan make up.

Tetapi apa yang dimaksud dengan pengecualian itu? Inilah yang mereka bahas secara panjang lebar sekaligus merupakan salah
satu kunci pemahaman ayat tersebut.

Ada yang berpendapat bahwa kata illa adalah istisna' muttashil
(satu istilah -- dalam ilmu bahasa Arab yang berarti "yang
dikecualikan merupakan bagian/jenis dari apa yang disebut
sebelumnya"), dan dalam penggalan ayat ini adalah zinah atau
hiasan.

Ini berarti ayat tersebut berpesan: "Hendaknya janganlah wanita-wanita menampakkan hiasan (anggota tubuh) mereka
kecuali apa yang tampak."

Redaksi ini, jelas tidak lurus, karena apa yang tampak tentu sudah kelihatan. Jadi, apalagi gunanya dilarang? Karena itu, lahir paling tidak tiga pendapat lain guna lurusnya pemahamam redaksi tersebut.

Pertama, memahami illa dalam arti tetapi atau dalam istilah ilmu bahasa Arab istisna' munqathi' dalam arti yang dikecualikan bukan bagian/jenis yang disebut sebelumnya. Ini
bermakna: "Janganlah mereka menampakkan hiasan mereka sama
sekali; tetapi apa yang tampak (secara terpaksa/bukan sengaja seperti ditiup angin dan lain-lain), maka itu dapat dimaafkan.

Kedua, menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat itu. Kalimat
dimaksud menjadikan penggalan ayat itu mengandung pesan lebih kurang: "Janganlah mereka (wanita-wanita) menampakkan hiasan
(badan mereka). Mereka berdosa jika demikian. Tetapi jika tampak tanpa disengaja, maka mereka tidak berdosa."

Penggalan ayat --jika dipahami dengan kedua pendapat di atas--
tidak menentukan batas bagi hiasan yang boleh ditampakkan,
sehingga berarti seluruh anggota badan tidak boleh tampak
kecuali dalam keadaan terpaksa.

Tentu saja pemahaman ini, mereka kuatkan pula dengan sekian
banyak hadis, seperti sabda Nabi Saw. kepada Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui
Buraidah:

_Wahai Ali, jangan ikutkan pandangan pertama dengan pandangan
kedua. Yang pertama Anda ditolerir, dan yang kedua anda berdosa._

Ketõga, memahami "kecuali apa yang tampak" dalam arti yang
yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya sehingga harus
tampak." Kebutuhan disini dalam arti menimbulkan kesulitan
bila bagian badan tersebut ditutup. Mayoritas ulama memahami
penggalan ayat tersebut dalam arti ketiga ini. Cukup banyak
hadis yang mendukung pendapat ini. Misalnya:

Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya
kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua
tangannya, kecuali sampai di sini (Nabi kemudran
memegang setengah tangan belõau) (HR Ath-Thabari).

Apabila wanita telah haid, tidak wajar terlihat darinya
kecuali wajah dan tangannya sampai ke pergelangan (HR
Abu Daud).

Pakar tafsir Al-Qurthubi, dalam tafsirnya mengemukakan bahwa
ulama besar Said bin Jubair, Atha dan Al-Auzaiy berpendapat
bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan dan busana yang dipakainya. Sedang sahabat Nabi Ibnu
Abbas, Qatadah, dan Miswar bin Makhzamah, berpendapat bahwa
yang boleh termasuk juga celak mata, gelang, setengah dari tangan yang dalam kebiasaan wanita Arab dihiasi/diwarnai
dengan pacar (yaitu semacam zat klorofil yang terdapat pada
tumbuhan yang hijau), anting, cincin, dan semacamnya.
Al-Qurthubi juga mengemukakan hadis yang menguraikan kewajiban menutup setengah tangan.

Syaikh Muhammad Ali As-Sais, Guru Besar Universitas Al-Azhar
Mesir, mengemukakan dalam tafsirnya-yang menjadi buku wajib
pada Fakultas Syariah Al-Azhar bahwa Abu Hanifah berpendapat
kedua kaki, juga bukan aurat. Abu Hanifah mengajukan alasan
bahwa ini lebih menyulitkan dibanding dengan tangan, khususnya bagi wanita-wanita miskin di pedesaan yang (ketika itu) seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan.

Jadi, ayat tersebit ialah sebagai perintah untuk menutup aurat (berkerudung) kepada kamu muslimah.

Sebenarnya jika kajian ini diteruskan masih banyak hal yang akan kita ketahui. Termasuk bagaimana kajian tentang jilbab menurut ulama kontemporer?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here