Performa Negri Madina, Upaya Membangun Masyarakat Madani - Sastri Pustaka

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 11 Oktober 2017

Performa Negri Madina, Upaya Membangun Masyarakat Madani

Performa Negri Madina, Upaya Membangun Masyarakat Madani

Masyarakat madani yang dibangun Nabi, oleh Robert N.Bellah, seorang ahli sosiologi agama terkemuka, disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern sehingga, setelah Nabi sendiri wafat, tidak bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi.
Masyarakat madani warisan Nabi Saw. yang bercirikan antara lain egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan, setelah Nabi wafat hanya berlangsung selama tiga puluh tahun masa khilâfah râsyidah. Sesudah itu, sistem sosial madani digantikan dengan sistem yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra-Islam yang kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau geneologis.
Sistem dinasti geneologis itu tidak dikenal dalam ajaran Islam. ‘A’isyah, janda Nabi yang disegani karena ilmunya, yang menjadi tokoh wanita Islam klasik paling berpengaruh dan menjadi guru banyak sekali pemimpin zaman itu, menamakan sistem dinasti geneologis itu sebagai Hirqalîyah atau “Hirakliusisme”, mengacu pada Kaisar Heraklius, penguasa Yunani saat itu, seorang tokoh sistem dinasti geneologis. Begitulah keadaan dunia Islam, yang terus-menerus hanya mengenal sistem dinasti geneologis, sampai datangnya zaman modern sekarang, di mana sebagian negeri Muslim menerapkan konsep negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya yang dipilih. Karena itu justru dalam zaman modern ini mungkin prasarana sosial dan kultural masyarakat madani yang dahulu tidak ada pada bangsa mana pun di dunia, termasuk bangsa Arab, akan terwujud. Maka kesempatan membangun masyarakat madani menurut teladan Nabi justru mungkin lebih besar pada saat sekarang ini.
Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat Ketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia, masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang pada hukum. Menegakkan hukum adalah amanat Tuhan, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak (Q., 4: 58). Dan Nabi Saw. telah memberi teladan kepada kita. Secara amat setia beliau laksanakan perintah Allah itu. Apalagi Al-Quran juga menegaskan bahwa tugas suci semua nabi ialah menegakkan keadilan (Q., 10: 47). Juga ditegaskan bahwa para rasul yang dikirimkan Allah ke tengah umat manusia dibekali dengan kitab suci dan ajaran keadilan, agar manusia tegak dengan keadilan itu (Q., 57: 25). Keadilan harus ditegakkan tanpa memandang siapa yang akan terkena akibatnya.
Keadilan juga harus ditegakkan, meskipun mengenai diri sendiri, kedua orangtua atau sanak keluarga (Q., 4: 135). Bahkan terhadap orang yang membenci kita pun, kita harus tetap berlaku adil, meskipun sepintas lalu keadilan itu akan merugikan kita sendiri (Q., 5: 8). Atas pertimbangan ajaran itulah Nabi Saw. dalam rangka menegakkan masyarakat madani atau civil society tidak pernah membedakan antara “orang atas”, “orang bawah”, ataupun keluarga sendiri. Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsabangsa di masa dahulu adalah karena jika “orang atas” melakukan kejahatan dibiarkan, tapi jika “orang bawah” melakukannya pasti dihukum. Karena itu Nabi juga menegaskan bahwa seandainya Fathimah, putri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan hukum dia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Masyarakat berperadaban tidak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi yang dengan tulusmengikatkan jiwanya kepada wawasan keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan ber-îmân, percaya, mempercayai, dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan, dalam suatu keimanan etis, artinya keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Dan tindakan kebaikan kepada sesama manusia itu harus didahului dengan diri sendiri menempuh hidup kebaikan, seperti dipesankan Allah kepada para rasul, agar mereka “makan dari yang baik-baik dan berbuat kebajikan” (Q., 23: 51).
Ketulusan ikatan jiwa juga memerlukan sikap yang yakin pada adanya tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di dunia ini. Ketulusan ikatan jiwa itu membutuhkan keyakinan bahwa makna dan  hakikat hidup manusia pasti akan menjadi kenyataan dalam kehidupan abadi, kehidupan setelah mati, dalam pengalaman bahagia atau sengsara. Karena itu, ketulusan ikatan jiwa pada keadilan mengharuskan orang memandang hidup jauh ke depan, tidak menjadi tawanan keadaan di waktu sekarang dan di tempat ini (dunia) (Q., 7: 169). Tetapi tegaknya hukum dan keadilan tidak hanya memerlukan komitmen-komitmen pribadi. Komitmen pribadi, yang menyatakan diri dalam bentuk “iktikad baik”, memang mutlak diperlukan sebagai pijakan moral dan etika dalam masyarakat. Sebab, bukankah masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi-pribadi para anggotanya? Apalagi terhadap para pemimpin masyarakat atau public figure, maka kebaikan iktikad itu lebih-lebih lagi dituntut, dengan menelusuri masa lalu sang (calon) pemimpin, baik dirinya sendiri maupun mungkin keluarganya. Karena itu, di banyak negara seorang calon pemimpin formal harus mempunyai catatan pengalaman hidup yang baik, melalui pengujian, bukan oleh perorangan atau kelembagaan, tapi oleh masyarakat luas, dalam suasana kebebasan yang menjamin kejujuran.
Namun sesungguhnya, seperti halnya dengan keimanan yang bersifat amat pribadi, iktikad baik bukanlah suatu perkara yang dapat diawasi dari luar diri orang bersangkutan. Ia dapat bersifat sangat subjektif, dibuktikan oleh hampir mustahilnya orang tidak mengaku beriktikad baik. Kecuali dapat diterka melalui gejala lahiri belaka, suatu iktikad baik tidak dapat dibuktikan, karena menjadi bagian dari bunyi hati sanubari orang bersangkutan yang paling rahasia dan mendalam. Oleh sebab itu, iktikad baik pribadi saja tidak cukup untuk mewujudkan masyarakat berperadaban. Iktikad baik yang merupakan buah keimanan itu harus diterjemahkan menjadi “amal saleh”, yang secara takrif adalah tindakan yang membawa kebaikan untuk sesama manusia.
Tindakan kebaikan bukanlah untuk kepentingan Tuhan, sebab Tuhan adalah Mahakaya, tidak perlu kepada apa pun dari manusia. Siapa pun yang melakukan tindakan kebaikan maka dia sendirilah, melalui hidup kemasyarakatannya, yang akan memetik dan merasakan kebaikan dan kebahagiaan. Begitu pula sebaliknya, siapa pun yang melakukan kejahatan, maka ia sendiri yang akan menanggung akibat kejahatan dan kerugiannya. Jika kita perhatikan apa yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari, jelas sekali bahwa nilai-nilai kemasyarakatan yang terbaik sebagian besar dapat terwujud hanya dalam tatanan hidup kolektif yang memberi peluang pada adanya pengawasan sosial.
Tegaknya hukum dan keadilan mutlak memerlukan suatu bentuk interaksi sosial yang memberi peluang bagi adanya pengawasan itu. Pengawasan sosial adalah konsekuensi langsung dari iktikad baik yang diwujudkan dalam tindakan kebaikan. Selanjutnya, pengawasan sosial tidak mungkin terselenggara dalam suatu tatanan sosial yang tertutup. Amal saleh atau kegiatan “demi kebaikan” dengan sendirinya berdimensi kemanusiaan, karena berlangsung dalam suatu kerangka hubungan sosial, dan menyangkut orang banyak. Suatu klaim berbuat baik untuk masyarakat, apalagi jika perbuatan atau tindakan itu dilakukan melalui penggunaan kekuasaan, tidak dapat dibiarkan berlangsung dengan mengabaikan masyarakat itu sendiri dengan berbagai pandangan, penilaian, dan pendapat yang ada.
Dengan demikian, masyarakat madani bakal terwujud hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyarakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari perikemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara positif dan optimistis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here