Restorasi Sistem Pesantren: Menyoal Pemberdayaan Menggugat Pendampingan - Sastri Pustaka

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 11 Oktober 2017

Restorasi Sistem Pesantren: Menyoal Pemberdayaan Menggugat Pendampingan

Restorasi Sistem Pesantren:
Menyoal Pemberdayaan Menggugat Pendampingan
Reng Temor*

Rentetan sejarah Resolusi Jihad Nadlatul Ulama (NU), yang hari ini dikenang sebagai hari santri merupakan puncak keberhasilan parjuangan pesantren melawan kolonialisme. Pesantren yang mempersembahkan kemerdekaan tentu bukanlah hal praktis yang dengan sepintas dapat dinobatkan. Akan tetapi ia telah melewati berbegai fase ijtihad kebijakan dengan mendobrak lapisan tebing kebodohan kulturan dan struktural.
Terdapat satu dua hal karakteristik permanin dari pesantren yang menyebabkan pesantren terus menjadi candu imanen dalam tatanan sisitem masyarakat. Pertama, menurut Prof. Dr. Abdul Ala, keberadaan pesantren tidak dapat dipisahkan dengan sistem kemasyarakatan yang bersifat pemberdayaan. Laju jalan dan ruang gerak pesantren selalu bergandeng tangan dengan masyarakat. Oleh karenanya pesantrenlah yang benar-benar paham terhadap dialektika sosiokutural hingga gejolak problematika yang terjadi di tengah tengah masyarakat. Pesantren adalah ibu yang mendidik, mengayomi dan mendampingi anak asuhnya dan bahkan masyarakat luas.
Kedua, pesantren lebih menekankan pada pendidikan karakter dari pada pennguasaan materi sesuai SAP dan Silabi yang disuguhkan pendidikan formal. Pesantren menerapkan caranya sendiri untuk mendidik dan mengasuh anak-anaknya sebagai sistem formasi pendidikan. Zamahsyari Dzafir menuliskan, pendidikan berbasis kultural untuk sistem pendidikan pesantren sepanjang sejarahnya. Maka, Mba Wahab , Mba Hasyim dan bahkan Gus Dur yang mempersembahkan dirinya untuk bangsa dan negara terlahir dari sistem pendidikan pesantren seumpama ini.
Namun demikian, bila melihat sikap dan sifat anak asuh pesantren dewasa ini, sudah tidak mencerminkan kepribadian santri yang karimah. Sebagai fakta untuk hal ini, setidak-tidaknya kita dapat melihat santri PPA. Lubangsa saat hadiran jamaah saja. Kondisi riuh dengan sorak sorai jenaka yang mengelikan menunggu hadiran adalah perilaku yang “tak pantas”. Bagi penulis, realita yang demikian ini merupakan kegegalan maksimal sistem pendidikan pesantren hari ini. Lalu di titik manakah kita dapat memberi koreksi?
Bertitik tolak pada pemahaman tak ada hal apapun yang praktis seumpama risalah perjuangan pesantren menobatkan kemerdekaan, maka untuk kegagalan pesantren ini pula juga tidak praktis. Psantren telah melewati berbagai fase dekadensi dan kemundurannya secara bertahap pula. Maka, apabila disandingkan dengan teori Abd. Ala dan Zamahsyari Dzafir, pesantren telah meninggalkan kedua-duanya. Pertama, pesantren tak lagi sebagai ibu yang memberdayakan dan mendampingi anak asuhnya secara intensif. Pesantren sudah tidak lagi menerapkan pendekatan kekeluargaan untuk mendidik dan memberi pelajaran, dan bahkan ia telah mengalami evolusi pola pikir modernisasi. Kedua, pesantren sudah mengubah sistem pendidikan kerakter pada sistem autokrasi.
Pesantren dewasa ini telah mengingkari sejarahnya sendiri. Pola didik berasaskan kesadaran melalui pendidikan karakter telah sirna. Ambillah contoh, untuk mengawasi dan memperingati kenakalan sanri dalam  masjid hanya dicukupkandengan kilatan cahaya senter. Untuk mengajak masuk Madrasah Diniyah cukup dengan menggembok gerbang pondoknya. Akankah ini masih disebut pemberdayaan berbasis pendampingan dan pendidikan karakter? Cukupkah pesanttren sebagai ibu santri membelai anak-anaknya dengan senter dan gembok? Jawaban sadar adalah tidak. Maka dalam posisi ini pemberdayaan dan pendampingan pesantren harus digugat.
Maka, sampai di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa pesantren sudah waktunya kembali pada khitohnya. Pesantren harus memulihkan sistem pendidikan karakter yang berdasar pada kesadaran dan uswahh al-karimah. Sebuah pendekatan kultural secara individu perlu kembali diterapkan. Bukan sistem gembok dan senter untuk mendidik dan mengingatkan anak-anaknya. Dan bahkan, jika memungkinkan, sewaktu-waktu pesantren harus kembali menerapkan sistem sorogan, lalaran dan hafalan untuk beberapa disiplin ilmu pengetahuan. Sehingga  pesantren kembali melahirkan tokoh pejuang bangsa yang berilmu dan berkarakter, bukan prematur.

*careta kona etoles dalam sastripustaka.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here