Diskusi kampung penulis
Abstrak
Membaca kitab al-‘Aql Wa al-Naql dalam Dirasah al-Islamiyah (Kairo,
al-Maktabah al-Anglo al-Misriyah) sungguh sangat membosankan. Selain bahasanya menggunakan istilah-istilah kontemporer
(asriyah), pembahasannya pun terlalu panjang dari satu kalimat dengan
kalimat yang lain. Pemahaman dengan rigit komperhensip menjadi sagat sulit
untuk didapatkan. Namun meski demikian, terdapat satu gagasan besar hasil
pemikiran Hassan Hanafi yang harus diketengahkan. Sebuah pemikiran yang
memberikan horison pemikiran baru di dalam menggagas perubahan peradaban Islam.
Polapikir oksidentalis menjadi pungung rujukan di dalam tegaknya gerakan Kiri Islam yang ia lontarkan.
Kiri Islam adalah wawasan baru yang merupakan kritik hangat Hassan terhadap
mandulnya peradaban Islam selama beberapa abad terahir ini. Kekalahan kaum
Muslim di laga Perang Dunia II yang dipinpin Khulagukan Eropa 400 tahun silam[1],
menjadi awal maraknya imperialisme, zionisme dan kapitalisme kaum barat dalam
mendeskriminasi masyarakat timur. Verenidge Oostindische Compagnie (VOC)
telah lama berkecambah di tanah air. Setelah VOC berhasil dipulangkan, pada
edisi berikutnya, barat meluncurkan gagasan International Monetari and
Financial (IMF) bersama World Bank yang pada akhirnya menjadikan
kurs mata uang bangsa Indonesia tidak ada nilainya dibandingkan dengan negara
lain[2].
Hal ini yang menjadikan bangsa Indonesia tetap berada dalam lingkaran garis
kemiskinan hingga saat ini.
Logosentrisme yang mematakkan belahan dunia menjadi barat dan timur,
menjadi sebab utama pasifitas dan pesimistis masyarakat timur selam ini. Menangnya
Eropa dan Amerika beserta sekutu-sekutunya dalam Perang Dunia II, menjadi
kesempatan emas bagi barat untuk mondoktrin dan menakut-nakuiti timur dengan
segala kekuatan yang dimilikinya. Kesempatan emas ini benar-benar dimanfaatkan oleh
barat dengan semaksimal mungkin untuk mematri timur dengan sejumlah label anti
manusiawi. Masyarakat timur distigma dengan masyarakat lemah, inferior,
subordinat dan terbelakang. Sedangkan barat diagung-agungkan dengan predikat
adikuasa, superior, ordinat yang dapat menguasai seluruh dunia. Kemajuan
peradaban yang sudah lama berkembang di Baghdad, secara paksa diakui menjadi
milik barat. Penanaman mindset sepeti ini yang membuat peradaban Islam
tidak pernah bangkit kembali pasca keruntuhannya.
Selain itu, pada saat-saat barat memegang kedali dunia dengan kemenagannya
tersebut, barat membanting tulang untuk
mengacak-acak realitas umat muslim. Barat melakukan imperealisme besar-besaran
terhadap timur yang tujuannya tiada lain untuk mempertentangkan berbagai
entitas yang berada di dalam Islamitu sendiri. Barat meracuni masyarakat timur dengan
mengadudomba satu kalangan dengan kalangan lain di internal Islam itu sendiri.
Aneka ragam perbedaan aliran dan sekte-sekte yang berada di tengah-tengah Islam
selalu umbar-umbar ke permukaan. Syiah dipertentangkan dengan Khawari dan
mu’tazilah, Muhammadiyah dijadikan lawan terhadap Ahlussunnah Waljamaah,
golongan Sufi dibuat berhadap-hadapan dengan ahli kalam (tholog), Filsafat
dikata bertentangan dengan Syariaat. Sehingga, pada titik kulminasinyakecamuk
internal didalam Islam terjadi. Umat muslim sama-sama saling mencari legitimasi
terhadap golongannya sendiri, sedang persaingannya dengan kalangan barat
menjadi terabaikan. Pergulatan ideologi seperti inilah oleh Hassan Hanfi
disebut dengan ‘logo sentisme’ yang merupakan hasil rintisan imperialisme barat
terhapa pemikiran timur.
Maka dari itu, bagi Hassan Hanafi, kebangkitan peradaban Islam babakan baru
akan menjadi nyata dengan gerakan Kisi Islam. Agama (Tauhid) harus memberi
suplay semangat pembacaan kembali terhadap teks sindrom pemikiran diskriminatif
barat yang selaman ini diimani. Gerakan pembacaan kembali terhadap ideologi barat
diorientasikan untuk membongkar mitologi barat serta menghilangkan pengelompokan
manusia ke dalam blok barat dan timur. Semua manusia mesti harus dipandang sama
rata yang anti klasifikasi sosial. Anggapan suprioritas dan ordinitas hanyalah
ilusi belaka. Sebab, pada sejatinya semua manusia memiliki kemungkinan dan
kemampuan yang sama. Sebagaiman agama menegaskan, bahwa hanya keimanan sajalah
yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya. Atau dalam perspektif
Hassan perbedaan manusia hanya ditentukan oleh semangat dan spirit yang
terpatri pada masing-masing pribadi manusia.
Selanjutnya gagasan pembaharuan dan perubahan yang disadur dari
oksidentalis ini, Hassan Hanafi mengikutinya dengan gerakan Kiri Islam. Kalangan Muslim harus
mampu mengartikan kembali semua wajah diktat dan dogma Agamanya dengan sebuah
perspektif yang dititik tekankan kepada pembebesan publik dan kebangkitan
sosial. Pemahaman keagamaan yang hanya trfokus pada sistem ritus-ritus ibadah
merupakan pemahaman parsial. Agama harus difahami dari dua sudut pandang tak
terpisahkan. Atau dalam kata lain, setelah Agama mengajari keyakinan kepada Tuhan, agama harus dipahami sebagai
spirit kebangkitan perjuangan menuju peradaban mulia.
Riwayat Hidup dan Kondisi
Sosio-Kultural Mesir
Hassan Hanafi adalah seorang Guru Besar di fakultas
Filsafat Universitas Kairo. Ia dilahirkan di daerah perkampungan Al-Azhar dekat
Benteng Salahuddin pada 13 Februari 1935 M. Mesir adalah suatu kota yang secara historis dan kultur budaya telah melahirkan para pemikr besar dengan temuan
berbagai ilmu pengetahuan, sebut saja Ilmu Ukur, Ekonomi dan ilmu hitung pada
abad kenamaan tepatnya di Babelonia yang kerap kali didatangi oleh para pemikir
Yunani kuno. Dan menurut pemaparan sejarah, pada dekade selanjutnya Mesir
merupakan pusat peradaban umat Islam yang mendapat sindrom pertumbuhan keilmuan
dari Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki bahkan dari Eropa. Sehingga
tidak mengherankan apabila para doktoral dan pemikir Muslim abad modern terlahir
dari kota Mesir ini, seumpama Hassan Hanafi.
Jenjang pendidikan Hassan mulai dari Madrasah Ibtidaiyah hingga Tsanawiyah
ditempuhnya di Kota Agha Khalil. Pada usia ini, Hassan sudah aktif di berbagai
diskusi-diskusi dan aktivitas Ikhwanul Muslimin. Dalam organisasi inilah
Hassan dapat berkenalan dan banyak belajar kepada para pemikir besar seperti
halnya Zakki Naquib, Mahmud, al-Aqqad dan Sayyid Kutub, penggagas keadilan
sosial. Hal inilah yang menjadi embrio tumbuh dan berkembangnya pemikiran kritis Hassan hanafi di
kemudian hari[3].
Keaktifannya diberbagai kajian keislaman saat Hanafi kecil, tersebabkan
bergolaknya rasa penasaran dan tak terima dengan kenyataan-kenyataan hidup
penjajahan atas dominasi pengaruh bangsa asing yang merupakan perwujudan dari
suasana Perang Dunia II. Sehingga pada titik semangatnya yang mengkristal, ia mencoba
memberanikan untuk mendaftakan diri menjadi sukarelawan melawan Israel di bawa
usia 13 tahun. Namun, berdasarkan sistem dan pola penerimaan keanggotaan
gerakan aktifis, akhirnya ia ditolak dengan alasan usianya yang terlalu dini[4]. Dari penolakan ini
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dekonstruktif Hassan mulai bersemi dalam
benaknya.
Saat ia masih duduk di bangku SMA, 1951, Hanafi yang sudah bersusia 17
tahuan mulai bergabung dengan gerakan revolusi yang digagas oleh para mahasiswa
sejak tahun 1940-an. Sehingga satu tahun berikutnya 1952 gerakan revolusi ini
benar-benar berhasil mengusir tentara Ingris yang membantai kaum shuhada di
Terusan Suez. Dilatar belakangi oleh beberapa hal, serta atas saran
anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini pula ia di dorong masuk dan bergabung dengan organisasi Ikhwanul Muslimin.
Akan tetapi, di tubuh Ikhwan-pun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang
terjadi di Pemuda Muslimin untuk menolak
seorang muda menjadi bagian dalam aksi gerakan revolusi Mesir. Sehingga ia berkesimpulan untuk kembali pada
kajian-kajian keislam murni bersama Sayyid Qutub. Kajian-kajian ini
mengambil bagiannya dalam pembahasan tentang prinsip-prinsip keadilan sosial
dalam dan diskusi-diskusi tentang dasar-dasar Agama Islam yang tidak dibarengi dengan ideologisasi aksi lapangan.
Namun, meski ia menfokuskan perhatiannya untuk mengkaji keililmuan Islam murni,
ia masih saja bertanya-tanya tentang hakikat rupa aksi lapangan yang ia tidak
diperbolehkan masuk. Hal ini mengakibatkan ketidak puasan Hanafi bertambah
marah atas cara berpikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak.[5]
Pada periode berikutnya, 1952-1956 Hassan belajar di Universitas Cairo untuk mendalami
bidang Filsafat. Di dalam periode ini, ia merasakan situasi
paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 terjadi pertentangan keras antara kalangan Ikhwan al-Muslimin dengan gerakan
revolusi. Gejolak internal inilah yang membuat
Hassan Hanafi tiada henti berfikir keras atas realitas keberadaan bangsanya
yang tertipu dengan pola pikir dan ideologinya sendiri. Kegelisahan ini terus
menjadi beban yang berat harus ditanggung oleh Hassan. Sehingga dari
kegelisihan ini, ditambah lagi dengan serangkaian diskusi-diskusinya dengan
para pemikir kenamaan seperti halnya Paul Ricoure tentang fenomina yang terjadi
tengah-tengah masyarakat (Filsafat Fenominologi) dan fungsi
ideologisasi, membentuk pribadi Hassan yang pemikir[6].
Pemikirannya lebih matang lagi ketika ai berkesempatan untuk melanjutkan studi tingkat postgraduate di Universitas
Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di Prancis
ia mendapatkan lingkungan yang kondusif untuk mencari
jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya
dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Dengan bacaanya terhadap buku-buku yang bercorak orientalis beserta
diskusi-diskusinya di dunia kampus dengan para doktoralnya, telah menghasilkan
Hassan yang merumuskan metodologinya tentang konflik dan teori perubahan
sosial.
Ia belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi
berpikir, pembaharuan, dan sejarah Filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul
Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan
Ushul Fikih dari Profesor Masnion.
Semangat Hanafi untuk
mengembangkan tulisan-tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam menghasilkan desertasi yang berjudul “L’Exegesess da
la Phenomenologue et son Aplication au Phenomene Religieux”. Karya setebal
900 halaman yang meraih penghargaan sebagai karya terbaik di Mesir pada tahun
1961 M. Kehadiran karya ini ditujkan untuk menghadapkan Ushul Fiqh (Islamic
Legal Theory) secara Vis A Vis dengan Filsafat Fenomenologi yang dirintis
oleh Edmund Husserl.
Karya dan pokok gagasannya tentang pergolakan konflik sosial yang
disebabkan klaim logosentrisme yang teralalu tinggi, pada hari-hari
berikutnya dibawanya pulang untuk diterapakan di Mesir. Mesir yang kerapa kali
terjadi konflik internal di antara kalangan Ikhwan al-Muslimin degan
gerakan Revolusi, dalam perspektif Hassan Hanafi diakibatkan adanya logosentrisme
kalangan/organisasi yang selalu diumbar-umbar oleh mereka sendiri. Status
quo yang berlebihan di antara kelompok-kolompok mereka menjadikan pertikaian
internal yang berkecamauk, bukan malah menjadi suatu kelebihan dan kekuatan
untuk suatu kebangkitan berdasarkan banyaknya gerakan dan organisasi Islam di
daerahnya.
Dari itu, kajiannya tentang perubahan dan kebangkitan peradaban Muslim
dilanjutkan dengan gagasan oksidentalis dan pola pikir kiri. Sebab, menurut
Hassan Hanafi keterbelakangan bangsa timur (Islam) bukan saja diakibatkan
adanya logosentrisme dan status quo yang berlebihan. Akan tetapi
di dalamnya terselip ideologi barat yang mempertentangkan satu aliran dengan
aliran yang lain, satu kelompok dengan kelompok yang lain. Ini mesti harus
mendapat perhatian husus untuk segeradiselesaikan.
Membaca ancaman teror barat yang dilakukan dengan serangkaian gerakan orientalisnya, Hassan mencoba membuat gugatan pemikiran dengan keharusan adanya oksidentalis. Suatu gerakan pembacaan ulang dan
koreksi terhadap perkembangan barat yang selama ini telah mengagung-agungkan
dirinya sebagai negara yang paling kuat. Lalu setelah itu,
Islam diharuskan melakukan interpretasi ulang dan perumusan kembali. Islam yang selama ini tidak lain difahami sebagai agama
yang mengajarkan Ibada dan Ritual, perlu kiranya diambil hikmah dan
semangat keislaman itu sendiri. Mulai dari latar belakang kesejarahan, ajaran
yang ditamkan hingga pada tataran ibadah yang ada di dalam Agama.
Kalam Sosial; Sebuah Telaah Performa Ideologi Klasik
Kalam adalah sebutan terhadap salah satu horison pemikiran abad pertengahan
yang menggunakan dialektika sebagai justivikasi dan legitamasi kebenaran doktrin
kepercayaan mereka. Pola dialog logis yang pernah digagas oleh plato di dalam
menyamapaikan ajaran filsafatnnya mencari kebenarn, kembali
mendapat apresiasi dari para cendekia sektarian muslim kisaran abad ke-9. Suatu pembahasan
tak berlebihan yang fokus kejiannya terletak pada subtansi tauhid, kredibelitas
al-Qur’an, kenabian dan khilifa pengganti Nabi pasca kepergiannya.
Perdebatan Panjang tentang kalam berawal dari kecelekaan sejarah pembunuhan
Khalifah Sayyidina Utsman bin Affan oleh Ibnu Muljam pada saat subuh.
Perdebatan berkecamuk pada penerus Khalifah setelahnya. Di antara mereka yang
pro Ali pada perkembangannya tumbuh menjadi Syiah yang pada abad mutakhir
terkesan arogan keras kepala. Kelompok ini mengkafirkan semua sahabat kecuali
Ali dan ahl al-bait. Dan diantara merka yang menentang kelompok pertama adalah
Mu’tazila yang pada hari-hari ini mendapat lebel sebagai kelompok rasionalis. Penolakan kepeminpinan Ali oleh Mu’tazilah tersebabkan
kekecewaan mereka kepada Ali yang mau saja berdamai dengan Muawiyah bin Abi
Sofyan pada saat perang Sifin. Sedang di antara mereka yang tidak mau tau-menau
tentang urusan khilafah menyebut dirinya sebagai khawarij.
Persilangan pendapat di antara ketiga kelompok menjadi ebrio awal
terpetaknya umat
Muslim kedalam sekte-sekte aliran yang cendrung saling
menyalahkan, mengkafirkan satu sama lain. Pertikaian pendapat yang awalnya
hanya berkutat pada masalah khilafah, pada perkembangannya menjadi aliran
ketuhanan, kepercayan, theologi yang memiliki manhaj kebenaran tersendiri.
Sehingga dengan ini meniscayakan adanya pemahaman keagamaan yang berbeda-beda
di internal Islam, terutama sekali di dalam masalah syariat furuiyah dan
peraktek-peraktek ibadah. Dari perbedaan ini pula timbullah sengketa besar
berkelanjutan yang masih belum bisa diatasi hingga hari ini.
Bagi Hassan, peradaban Islam yang sulit berkembang, merupakan fungi manefes
dari adanya pergolakan sengketa internal di dalam tubuh Islam yang—setelah
dianalisa—disebabkan oleh perbedaan sistem kepercayaan sekte-sekte yang
dibesar-besarkan. Maka dari itu, hal paling utama yang mesti harus dilakukan di dalam agenda
perubahan peradaban Islam ke arah yang lebih progresif adalah dengan melakukan
dekontruksi terhadap formula sistem kepercayaan (theologi) klasik.
Perubahan peradaban, dalam gagasan Hassan digantungkan pada pemahaman muslim tentang orientasi sistem keprcayaan Islam (Theologi) yang selama ini hanya mendapat dterminasinya pada pengesaan dan penyucian Tuhan belaka. Etos progresif tidak akan pernah
terjadi apabila manusia selalau mendoktrin dirinya dengan predikat hina, lemah
dan tidak berdaya. Sebab penyebutan sifat-sifat pesimistis dan pasifitas yang
selalu diulang-ulang—di setiap hendak memulai membaca kitab klasik
misalnya—akan menbentuk karakter kepribadian muslim yang tidak akan mampu
bangkit menampilakan babak peradaban baru yang lebih priogresif[7].
Hal ini tidak lain karena ingatan akal fikir manusia yang selalau dijejali
dengan ingatan bahwa Dia maha besar sementara diri-sendiri serba lemah yang
mematri pada pada akal bawah sadar, pada gilirannya akan membuat manusia,
muslim tidak percaya diri, lemah dan kehilangan elen progresifnya di dalam
membentuk perabadan[8].
Epistem Islam Kiri
“Dalam dunia tahid secara logis dapat ditarik pengertian
bahwa penciptaan tuhan adalah esa. Ia menolak segala deskriminasi berdasarkan
ras, warna kulit, kelas, garis keturunan, kekayaam dam kekuasaam. Ia
menempatkan manusia dalam kesamaan. Ia juga menyatukan antara manusia dan alam
yang melengkapi penciptaan Tuhan.... Keesaan Tuhan berarti juga keesaan kehidupan
manusia, yakni tidak ada pemisahan antara spiritualitas dan kewadagan, antara
keagamaan dan keduniawiaan. Dengan memahami seluruh aspek kehidupan diatur oleh
satu hukum, dan tujuan seluruh muslim bersatu dalam kehendak Allah.”[9]
Tesa sederhana ini memberikan gambaran
adanya keharus-bersatuan di antara seluruh elimin kehidupan. Tidak hanya di antara manusia dengan
manusia lainnya, tetapi juga antara Tuhan dan manusia. Sehingga dengan ini
adanya logosentrisme barat secara
sekaligus dapat dinafikan dan dimusnahkan seketika.
Islam Kiri adalah sebuah manefesto berbasis Islam yang dianggap sebagai ajaran sempurnah dari Tuhan kepada umat manusia.
semua ajaran Muslim percaya bahwa ajaran Islam itu bersifat universal dan tidak
bertentangan dengan rasio. Semua muslim berwajib membangun peradaban dengan
berbekal kepercayaan itu. Ajaran tentang teologi/kalam tidak
hanya diimani sebagai konsep ketuhan yang selama melangit. Teologi harus dapat
dibawa turun kebumi dan meyentuh segala elemin kemanusiaan.[10]
Kiri Islam berdasarkan kemunculannya ingin kembali memulai peradaban baru
yang bertitik tumpuh pada kebangkitan peradaban Islam berdasarkan semangat
Theologi. Kiri Islam sebuah agenda perubahan dan kebangkitan
kembali yang memosisikan diri mengajak kaum lemah, tertinggal. Islam dalam
perspektif Kiri harus difahami bahwa Islam kembali pada titik kegoncangannya setelah kepergian Muhammad. Islam mulai tereduksi oleh berbagai genjatan senjata para perebut tahta khilafah,
bandit-bandit politik, para pemikir muslim yang lebih mengedepankan status quo dan sektarian serta juga
teradukkan dengan pola pikir passif
pasca kekalahan Perang Dunia II. Sehingga untuk memulai peradaban baru maka
diperlukan adanya memaknaan kembali terhadap Islam yang berdasarkan pada
semangat dan spirit nilai keislaman, bukan lagi pada pengokohan doktrin taabbudi belaka. Sehingga kesimpulannya
Islam pada hari ini adalah Islam yang jauh dari kata sempurnah.
Di dalam mewujudkan revolusi Islam (revolusi tauhid) Kiri Islam bertopang pada tiga pilar utama. Pertama,
revitalitas khazanah Islam klasik. Berdasarkan pada fokus penelitiannya
tentang agenda perubahan peradaban yang menggunakan alat analisa fenominologi,
Hassa berkesimpulan bahwa Agama memiliki sumbangsih dominan di dalam menentukan
peradaban manusia. Dan khazanah keislaman secara universal tidak ditemukan yang
bertentangan satu sama salin. Maka
dari itu kalau sejarah telah mewariskan khazanah keilmuan dan sistem keimanan
maka hal yang demikian tidaklah menjadi baik kalau dihapuskan secara
keseluruhan. melainkan harus ditafsiri kembali.Penafsiran yang tidakboleh
merong-merong yang ada,akan tetapi harus lebih mengokohkan dan bersifat
mebangun menuju progresifitas.
Khazanah keilmuan klasik mesti harus dihidupkan dengan perfoma wajah baru. Dalam hal ini Hassan mencontohkan dengan
pelaksanaan ibadah shalat. Shalat selama ini hanya difahami sebagai kewajiban
dan untuk memuhi suatu perintah yang bersifat qat’i. akan tetapi bagi Hassan Hanafi Shalat memberikan pelajaran
tersendiri kepada manusia. Menghadap kiblat dan bersepakat di dalam warku yang
sudah ditentukan, berati kewajiban adanya solidaritas dan kesamaan tujuan di
dalam hidup yang bertitik pada perbaikan, bukan penindasan, perlawanan,
skandalitas dan penjajahan. Wudlu’ dan mandi hadats tidak hanya memiliki arti
menyucikan batin dalam rangka memenuhi persyaratan shalat, akan tetapi juga
merupakan latihan kebersihan badaniah. Konstruksi bangunan masjid dan disyariatkannya berjamaah di dalam shalat Jam’t harus diartikan adanya rasa sosial yang tinggi dan berkumpul
dengan orang lain.
Rasionalisasi sistem ibadah lain yang juga memberi banyak pelajaran adalah
puasa. Puasa memberikan hikmah kebersamaan dan
rasa bersepakat di dalam segala hal,
sebagaimana di dalam bulan Ramadan yang semua muslim bersama-sama dan bersatu untuk merasakan lapar. Suatu
perasaan yang mengingatkan manusia akan nasib rakyat miskin. Hal ini semua telah berbicara seputar ibadah-ibadah wajib yang bersifat fi’li
(praktek badani). Begitu pula kalau sudah berbicara deminsi ajaran Islam yang bersifat
kepercayaan seperti meyakini keesaan Tuhan dan kerasulan Muhammad di dalam
Syahadat. Dengan merasionalisasikan ajaran Islam ini—apabila dapat dilakukan di
dalam semua aspek ajaran Islam—maka akan tercipta apa yang disebut dengan
dengan revitalisasi khazanah Islam klasik.
Kedua, perlunya menentang
barat. Abad modern, adalah masa keemasan barat yang sampai saat ini masih belum
bisa tergantikan dengan bangsa lain. Barat telah menanam benih-benih
kebangkitanya mulai sejak abad ke XIV saat barat melakukan rekontruksi
besar-besaran terhadap keilmuan dan penghidupan kembali terhadap budaya barat
yang pernah tergerus ke dunia timur, Islam pada abat pertengahan. Selanjutnya
pada abad ke XV dilakukan revormasi yang dilanjutkan dengan rasionalisme pada
abad ke XVI. Di masa ini barat dengan besar-besaran malakukan pengembangan keilmuan dan ekspansi kedaerahan dengan melakukan
sejumlah penjajahan ke belahan dunia timur. Penjajahan ini dilangsungkan hingga masa renaissance
pada abad ke XVIII.
Di sela-sela penjajahan dan penguasannya terhadapa negara timur, barat
menanamkan teror ideologi dengan mengaku dirinya sebagai negara adikuasa, negara
terhebat yang menjadi pusat peradaban hingga abad ke XVIII yang disebut sebagai
babakan ilmiah di kanca peradaban dunia. Pada masa ini keilmuan barat dan
tehnologinya menjadi benar-benar mencapai puncak keemasannya hingga abad ke XIX
dan XX di mana Islam kembali menyuarakan kebangkitan dan pembebasan dari
ideologisasi barat.
Pada abad ini, Kiri Islam mendapat apresiasi untuk kembali memulihakan
peradaban Islam dengan melakukan pemusnahan terhadap mitologi barat yang
mengaku dirinya sebagai adikuasa. Maka dari itu gerakan oksidentalis perlu
dikedepankan sebagai teori tandingan terhadap imperialisme barat. Barat harus
segera ditelanjangi dan tidak
lagi diterima sebagai pemangku kekuasaan dunia. Semua kalangan
diposisikan sama. Hal ini Hassan senada dengan al-Afgani yang mengingatkan
Islam akan kekejaman barat melalui erosentrisme kebudayaan timur.
Oksidentalis dimaksudkan untuk membongkar rahasia barat yang ttitik
kekuatannya bertumpuh pada doktrinasi kekalahan timur dengan segala label yang
diberikan, mulai label terbelakang hingga masyarakat kedua. Pemusnahan
logosentrisme ini yang merupakan tugas utama Kiri Islam di dalam membentuk Islam
sebagai
pemangku peradaban dunia sesi ke-dua. Sebab
kejahatan barat dengan deskreditasinya terhadap timur, menanamkan benih-benih pasimististis yang berkepanjangan. Maka dengan pemusnahan
skat-skat ideologi ini, timur bisa kembali bangkit.
Usaha ketiga yang diusung Kiri Islam adalah melihat kembali realitas
dunia Islam. Keberadaan Islam yang selama ini cendrung memahami Agama secara
tesktual, perlu untuk juga melirik keberadaan konteks yang mengitarinya. Sehingga pemahaman dan praktek
keberagamaan dapat difahami secara utuh, tidak parsial. Penafsiran
kembali terhadap nash Qur’an dan hadits adalah suatu
keniscayaan. Sehingga living qur’anic dan agama manusia tidak lagi hanya
menjadi wacana belaka.
Pemahamanan kembali terhadap realitas dunia Islam juga diartikan untuk
mengurangi ketegangan konflik sektarian yang ada di dalam Islam. Status quo dan
sukuisme yang lama berkecamba harus segera diakhiri. Sebab selama menjadi
Islam, selama itu pula masih saudara.
Dari sekian panjang pemaparan tentang gagasan pembaharuan Hassan Hanafi
dapat ditarikkesimpulan bahwa terdapat tigal hal mendasar yang harus dilakukan
Islam menuju dunianya yang lebih kosmopolita. Pertama, Islam tidak
gagapbarat. Usaha ini ditandai dengan adanya oksidntalis sebagai tandingan terhadap imperialism barat yang mampu
membongkar metologi barat.
Usaha ke-dua, Islam harus melakukan
rekontruksi pemikiran dan ajaranya. Pemahaman keagamaan klasik harus
didekontruksi dan lalu dibangun kembali formasi keberagamaan yang memperhatikan
perkembangan zaman. Sedang usaha yang ke-tiga
adalah dengan memberi kesadaran internal terhadap pola pikir muslim yang
cendrung menutup diri terhadap perkembangan dunia (menganggap final akan
pemahana Agama yang ada) setelah kekalahannya kepada barat.
[2] IMF diberlakukan setelah negara Indonesia menendatangani Articles of
agrement¸ produk hukum dan ketentuan IMF pada tanggal 27 Desember 1945 yang
di kemudian hari Amerika
melucuti Articles yang dirumuskan dalam
konfrensi internasional kala itu. Dalam tragedi Nixon Shock pada tanggal
15 Agustus 1971 Amerika menyatakan diri untuk tidak lagi menakar nilai tukar
mata uangnya dengan harga mas. Selebihnya Amerika telah melakukan
penyalahgunaan hak dan tanggung jawabnya
kepada IMF dan bahkan ia mengambil keistimewaan sepihak ketimbang beberapa
Negara lain. Ini yang menjadi sebab protes Prancis pada tahun 1968.
[3] Abdurrahman Wahid, 1994, “Hassan Hanafi dan
Eksperimentasinya” dalam sebuah pengantar buku Kiri Islam: antara modernisme
dan post-modernisme, telaah kritis pemikiran Hassan Hanafi karya Kazou Shimogaki, Yogyakarta, LKiS.
[4] E. Kusnadiningrat, Esai lepas Mahasiswa
pascasarjana UIN Jakarta “Hassan Hanafi: Islam Adalah Protes, Oposisi, dan
Revolusi”
[5] Perkembangan ini bisa kita
lihat, di antaranya, dalam Hassan Hanafi, “al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi
Fikrina al-Mu’ashir”,
dalam al-Azminat, III, 15 (1989).
[6] Seorang pemikir, Ahli filsafat, konsentrasi Interpretasi
Teks yang menggagas Filsafat Fenominologi. Sebuah kajian atas fakta sosial yang
pada titik konklusinya menghasilkan rumusan “apapun tergantung pada pola
pikir”. Untuk lebih jelasnya bisa dilanjutkan membaca buku “Teori
Interpretasi”, Paul Ricouere, Ircisod yang pernah diresensi oleh Ahmad
Fairozi dalam Cendekia Edisi X, 21 Februari 2016 M.
[7] Concern kritik Hassan Hanafi
terhadap al-ilahiyah, al-Mantiqiyahdan al-Thabi’iyah yang disebutnya sebagai old fashion teleh mendapat banyak counter critics
dari ulamak pada masanya yang menggap Hassan Hanafi sebagai pelopor dekontruksi
kemapanan tauhid di dalam Islam.
[8] Untuk lebih jelasnya dapat dilanjutkan mengkaji Falsafah
Kalam Sosial, H.Muhammad In’an Isha, M. Ag.
[9] Tosio Kredo (ed) 1983 Islam Jiten, Tokyo
Tokyodo Shuppan Hal 15
[10] FalsafahKalam Sosial,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar