Islam Kiri (Hassan Hanafi) dan Agenda Perubahan Berlanjut - Sastri Pustaka

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Senin, 31 Oktober 2016

Islam Kiri (Hassan Hanafi) dan Agenda Perubahan Berlanjut



Diskusi kampung penulis


Abstrak
Membaca kitab al-‘Aql Wa al-Naql dalam Dirasah al-Islamiyah (Kairo, al-Maktabah al-Anglo al-Misriyah) sungguh sangat membosankan. Selain bahasanya menggunakan istilah-istilah kontemporer (asriyah), pembahasannya pun terlalu panjang dari satu kalimat dengan kalimat yang lain. Pemahaman dengan rigit komperhensip menjadi sagat sulit untuk didapatkan. Namun meski demikian, terdapat satu gagasan besar hasil pemikiran Hassan Hanafi yang harus diketengahkan. Sebuah pemikiran yang memberikan horison pemikiran baru di dalam menggagas perubahan peradaban Islam. Polapikir oksidentalis menjadi pungung rujukan di dalam tegaknya gerakan Kiri Islam yang ia lontarkan.
Kiri Islam adalah wawasan baru yang merupakan kritik hangat Hassan terhadap mandulnya peradaban Islam selama beberapa abad terahir ini. Kekalahan kaum Muslim di laga Perang Dunia II yang dipinpin Khulagukan Eropa 400 tahun silam[1], menjadi awal maraknya imperialisme, zionisme dan kapitalisme kaum barat dalam mendeskriminasi masyarakat timur. Verenidge Oostindische Compagnie (VOC) telah lama berkecambah di tanah air. Setelah VOC berhasil dipulangkan, pada edisi berikutnya, barat meluncurkan gagasan International Monetari and Financial (IMF) bersama World Bank yang pada akhirnya menjadikan kurs mata uang bangsa Indonesia tidak ada nilainya dibandingkan dengan negara lain[2]. Hal ini yang menjadikan bangsa Indonesia tetap berada dalam lingkaran garis kemiskinan hingga saat ini.
Logosentrisme yang mematakkan belahan dunia menjadi barat dan timur, menjadi sebab utama pasifitas dan pesimistis masyarakat timur selam ini. Menangnya Eropa dan Amerika beserta sekutu-sekutunya dalam Perang Dunia II, menjadi kesempatan emas bagi barat untuk mondoktrin dan menakut-nakuiti timur dengan segala kekuatan yang dimilikinya. Kesempatan emas ini benar-benar dimanfaatkan oleh barat dengan semaksimal mungkin untuk mematri timur dengan sejumlah label anti manusiawi. Masyarakat timur distigma dengan masyarakat lemah, inferior, subordinat dan terbelakang. Sedangkan barat diagung-agungkan dengan predikat adikuasa, superior, ordinat yang dapat menguasai seluruh dunia. Kemajuan peradaban yang sudah lama berkembang di Baghdad, secara paksa diakui menjadi milik barat. Penanaman mindset sepeti ini yang membuat peradaban Islam tidak pernah bangkit kembali pasca keruntuhannya.
Selain itu, pada saat-saat barat memegang kedali dunia dengan kemenagannya tersebut,  barat membanting tulang untuk mengacak-acak realitas umat muslim. Barat melakukan imperealisme besar-besaran terhadap timur yang tujuannya tiada lain untuk mempertentangkan berbagai entitas yang berada di dalam Islamitu sendiri. Barat meracuni masyarakat timur dengan mengadudomba satu kalangan dengan kalangan lain di internal Islam itu sendiri. Aneka ragam perbedaan aliran dan sekte-sekte yang berada di tengah-tengah Islam selalu umbar-umbar ke permukaan. Syiah dipertentangkan dengan Khawari dan mu’tazilah, Muhammadiyah dijadikan lawan terhadap Ahlussunnah Waljamaah, golongan Sufi dibuat berhadap-hadapan dengan ahli kalam (tholog), Filsafat dikata bertentangan dengan Syariaat. Sehingga, pada titik kulminasinyakecamuk internal didalam Islam terjadi. Umat muslim sama-sama saling mencari legitimasi terhadap golongannya sendiri, sedang persaingannya dengan kalangan barat menjadi terabaikan. Pergulatan ideologi seperti inilah oleh Hassan Hanfi disebut dengan ‘logo sentisme’ yang merupakan hasil rintisan imperialisme barat terhapa pemikiran timur.
Maka dari itu, bagi Hassan Hanafi, kebangkitan peradaban Islam babakan baru akan menjadi nyata dengan gerakan Kisi Islam. Agama (Tauhid) harus memberi suplay semangat pembacaan kembali terhadap teks sindrom pemikiran diskriminatif barat yang selaman ini diimani. Gerakan pembacaan kembali terhadap ideologi barat diorientasikan untuk membongkar mitologi barat serta menghilangkan pengelompokan manusia ke dalam blok barat dan timur. Semua manusia mesti harus dipandang sama rata yang anti klasifikasi sosial. Anggapan suprioritas dan ordinitas hanyalah ilusi belaka. Sebab, pada sejatinya semua manusia memiliki kemungkinan dan kemampuan yang sama. Sebagaiman agama menegaskan, bahwa hanya keimanan sajalah yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya. Atau dalam perspektif Hassan perbedaan manusia hanya ditentukan oleh semangat dan spirit yang terpatri pada masing-masing pribadi manusia.
Selanjutnya gagasan pembaharuan dan perubahan yang disadur dari oksidentalis ini, Hassan Hanafi mengikutinya dengan  gerakan Kiri Islam. Kalangan Muslim harus mampu mengartikan kembali semua wajah diktat dan dogma Agamanya dengan sebuah perspektif yang dititik tekankan kepada pembebesan publik dan kebangkitan sosial. Pemahaman keagamaan yang hanya trfokus pada sistem ritus-ritus ibadah merupakan pemahaman parsial. Agama harus difahami dari dua sudut pandang tak terpisahkan. Atau dalam kata lain, setelah Agama mengajari keyakinan  kepada Tuhan, agama harus dipahami sebagai spirit kebangkitan perjuangan menuju peradaban mulia.

Riwayat Hidup dan Kondisi Sosio-Kultural Mesir
Hassan Hanafi adalah seorang Guru Besar di fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia dilahirkan di daerah perkampungan Al-Azhar dekat Benteng Salahuddin pada 13 Februari 1935 M. Mesir adalah suatu kota yang secara historis dan kultur budaya telah melahirkan para pemikr besar dengan temuan berbagai ilmu pengetahuan, sebut saja Ilmu Ukur, Ekonomi dan ilmu hitung pada abad kenamaan tepatnya di Babelonia yang kerap kali didatangi oleh para pemikir Yunani kuno. Dan menurut pemaparan sejarah, pada dekade selanjutnya Mesir merupakan pusat peradaban umat Islam yang mendapat sindrom pertumbuhan keilmuan dari Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki bahkan dari Eropa. Sehingga tidak mengherankan apabila para doktoral dan pemikir Muslim abad modern terlahir dari kota Mesir ini, seumpama Hassan Hanafi.
Jenjang pendidikan Hassan mulai dari Madrasah Ibtidaiyah hingga Tsanawiyah ditempuhnya di Kota Agha Khalil. Pada usia ini, Hassan sudah aktif di berbagai diskusi-diskusi dan aktivitas Ikhwanul Muslimin. Dalam organisasi inilah Hassan dapat berkenalan dan banyak belajar kepada para pemikir besar seperti halnya Zakki Naquib, Mahmud, al-Aqqad dan Sayyid Kutub, penggagas keadilan sosial. Hal inilah yang menjadi embrio tumbuh dan  berkembangnya pemikiran kritis Hassan hanafi di kemudian hari[3].
Keaktifannya diberbagai kajian keislaman saat Hanafi kecil, tersebabkan bergolaknya rasa penasaran dan tak terima dengan kenyataan-kenyataan hidup penjajahan atas dominasi pengaruh bangsa asing yang merupakan perwujudan dari suasana Perang Dunia II. Sehingga pada titik semangatnya yang mengkristal, ia mencoba memberanikan untuk mendaftakan diri menjadi sukarelawan melawan Israel di bawa usia 13 tahun. Namun, berdasarkan sistem dan pola penerimaan keanggotaan gerakan aktifis, akhirnya ia ditolak dengan alasan usianya yang terlalu dini[4]. Dari penolakan ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dekonstruktif Hassan mulai bersemi dalam benaknya.
Saat ia masih duduk di bangku SMA, 1951, Hanafi yang sudah bersusia 17 tahuan mulai bergabung dengan gerakan revolusi yang digagas oleh para mahasiswa sejak tahun 1940-an. Sehingga satu tahun berikutnya 1952 gerakan revolusi ini benar-benar berhasil mengusir tentara Ingris yang membantai kaum shuhada di Terusan Suez. Dilatar belakangi oleh beberapa hal, serta atas saran anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini pula ia di dorong masuk dan bergabung dengan organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, di tubuh Ikhwan-pun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi di Pemuda Muslimin untuk menolak seorang muda menjadi bagian dalam aksi gerakan revolusi Mesir. Sehingga ia berkesimpulan untuk kembali pada kajian-kajian keislam murni bersama Sayyid Qutub. Kajian-kajian ini mengambil bagiannya dalam pembahasan tentang prinsip-prinsip keadilan sosial dalam dan diskusi-diskusi tentang dasar-dasar Agama Islam yang tidak dibarengi dengan ideologisasi aksi lapangan. Namun, meski ia menfokuskan perhatiannya untuk mengkaji keililmuan Islam murni, ia masih saja bertanya-tanya tentang hakikat rupa aksi lapangan yang ia tidak diperbolehkan masuk. Hal ini mengakibatkan ketidak puasan Hanafi bertambah marah atas cara ber­pikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak.[5]
Pada periode berikutnya, 1952-1956 Hassan belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang Filsafat. Di dalam periode ini, ia merasakan situasi paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 terjadi pertentangan keras antara kalangan Ikhwan al-Muslimin dengan gerakan revolusi. Gejolak internal inilah yang membuat Hassan Hanafi tiada henti berfikir keras atas realitas keberadaan bangsanya yang tertipu dengan pola pikir dan ideologinya sendiri. Kegelisahan ini terus menjadi beban yang berat harus ditanggung oleh Hassan. Sehingga dari kegelisihan ini, ditambah lagi dengan serangkaian diskusi-diskusinya dengan para pemikir kenamaan seperti halnya Paul Ricoure tentang fenomina yang terjadi tengah-tengah masyarakat (Filsafat Fenominologi) dan fungsi ideologisasi, membentuk pribadi Hassan yang pemikir[6].
Pemikirannya lebih matang lagi ketika ai berkesempatan untuk melanjutkan studi tingkat postgraduate di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di Prancis ia mendapatkan lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Dengan bacaanya terhadap buku-buku yang bercorak orientalis beserta diskusi-diskusinya di dunia kampus dengan para doktoralnya, telah menghasilkan Hassan yang merumuskan metodologinya tentang konflik dan teori perubahan sosial. Ia belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah Filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bim­bingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion.
Semangat Hanafi untuk mengembangkan tulisan­-tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam menghasilkan desertasi yang berjudul “L’Exegesess da la Phenomenologue et son Aplication au Phenomene Religieux”. Karya setebal 900 halaman yang meraih penghargaan sebagai karya terbaik di Mesir pada tahun 1961 M. Kehadiran karya ini ditujkan untuk menghadapkan Ushul Fiqh (Islamic Legal Theory) secara Vis A Vis dengan Filsafat Fenomenologi yang dirintis oleh Edmund Husserl.
Karya dan pokok gagasannya tentang pergolakan konflik sosial yang disebabkan klaim logosentrisme yang teralalu tinggi, pada hari-hari berikutnya dibawanya pulang untuk diterapakan di Mesir. Mesir yang kerapa kali terjadi konflik internal di antara kalangan Ikhwan al-Muslimin degan gerakan Revolusi, dalam perspektif Hassan Hanafi diakibatkan adanya logosentrisme kalangan/organisasi yang selalu diumbar-umbar oleh mereka sendiri. Status quo yang berlebihan di antara kelompok-kolompok mereka menjadikan pertikaian internal yang berkecamauk, bukan malah menjadi suatu kelebihan dan kekuatan untuk suatu kebangkitan berdasarkan banyaknya gerakan dan organisasi Islam di daerahnya.
Dari itu, kajiannya tentang perubahan dan kebangkitan peradaban Muslim dilanjutkan dengan gagasan oksidentalis dan pola pikir kiri. Sebab, menurut Hassan Hanafi keterbelakangan bangsa timur (Islam) bukan saja diakibatkan adanya logosentrisme dan status quo yang berlebihan. Akan tetapi di dalamnya terselip ideologi barat yang mempertentangkan satu aliran dengan aliran yang lain, satu kelompok dengan kelompok yang lain. Ini mesti harus mendapat perhatian husus untuk segeradiselesaikan.
Membaca ancaman teror barat yang dilakukan dengan serangkaian gerakan orientalisnya, Hassan mencoba membuat gugatan pemikiran dengan keharusan adanya oksidentalis. Suatu gerakan pembacaan ulang dan koreksi terhadap perkembangan barat yang selama ini telah mengagung-agungkan dirinya sebagai negara yang paling kuat. Lalu setelah itu, Islam diharuskan melakukan interpretasi ulang dan perumusan kembali. Islam yang selama ini tidak lain difahami sebagai agama yang mengajarkan Ibada dan Ritual, perlu kiranya diambil hikmah dan semangat keislaman itu sendiri. Mulai dari latar belakang kesejarahan, ajaran yang ditamkan hingga pada tataran ibadah yang ada di dalam Agama.

Kalam Sosial; Sebuah Telaah Performa Ideologi Klasik
Kalam adalah sebutan terhadap salah satu horison pemikiran abad pertengahan yang menggunakan dialektika sebagai justivikasi dan legitamasi kebenaran doktrin kepercayaan mereka. Pola dialog logis yang pernah digagas oleh plato di dalam menyamapaikan ajaran filsafatnnya mencari kebenarn, kembali mendapat apresiasi dari para cendekia sektarian muslim kisaran abad ke-9. Suatu pembahasan tak berlebihan yang fokus kejiannya terletak pada subtansi tauhid, kredibelitas al-Qur’an, kenabian dan khilifa pengganti Nabi pasca kepergiannya.
Perdebatan Panjang tentang kalam berawal dari kecelekaan sejarah pembunuhan Khalifah Sayyidina Utsman bin Affan oleh Ibnu Muljam pada saat subuh. Perdebatan berkecamuk pada penerus Khalifah setelahnya. Di antara mereka yang pro Ali pada perkembangannya tumbuh menjadi Syiah yang pada abad mutakhir terkesan arogan keras kepala. Kelompok ini mengkafirkan semua sahabat kecuali Ali dan ahl al-bait. Dan diantara merka yang menentang kelompok pertama adalah Mu’tazila yang pada hari-hari ini mendapat lebel sebagai kelompok rasionalis. Penolakan kepeminpinan Ali oleh Mu’tazilah tersebabkan kekecewaan mereka kepada Ali yang mau saja berdamai dengan Muawiyah bin Abi Sofyan pada saat perang Sifin. Sedang di antara mereka yang tidak mau tau-menau tentang urusan khilafah menyebut dirinya sebagai khawarij.
Persilangan pendapat di antara ketiga kelompok menjadi ebrio awal terpetaknya umat Muslim kedalam sekte-sekte aliran yang cendrung saling menyalahkan, mengkafirkan satu sama lain. Pertikaian pendapat yang awalnya hanya berkutat pada masalah khilafah, pada perkembangannya menjadi aliran ketuhanan, kepercayan, theologi yang memiliki manhaj kebenaran tersendiri. Sehingga dengan ini meniscayakan adanya pemahaman keagamaan yang berbeda-beda di internal Islam, terutama sekali di dalam masalah syariat furuiyah dan peraktek-peraktek ibadah. Dari perbedaan ini pula timbullah sengketa besar berkelanjutan yang masih belum bisa diatasi hingga hari ini.
Bagi Hassan, peradaban Islam yang sulit berkembang, merupakan fungi manefes dari adanya pergolakan sengketa internal di dalam tubuh Islam yang—setelah dianalisa—disebabkan oleh perbedaan sistem kepercayaan sekte-sekte yang dibesar-besarkan. Maka dari itu, hal paling utama yang  mesti harus dilakukan di dalam agenda perubahan peradaban Islam ke arah yang lebih progresif adalah dengan melakukan dekontruksi terhadap formula sistem kepercayaan (theologi) klasik.
Perubahan peradaban, dalam gagasan Hassan digantungkan pada pemahaman muslim tentang orientasi sistem keprcayaan Islam (Theologi) yang selama ini hanya mendapat dterminasinya pada pengesaan dan penyucian Tuhan belaka. Etos progresif tidak akan pernah terjadi apabila manusia selalau mendoktrin dirinya dengan predikat hina, lemah dan tidak berdaya. Sebab penyebutan sifat-sifat pesimistis dan pasifitas yang selalu diulang-ulang—di setiap hendak memulai membaca kitab klasik misalnya—akan menbentuk karakter kepribadian muslim yang tidak akan mampu bangkit menampilakan babak peradaban baru yang lebih priogresif[7]. Hal ini tidak lain karena ingatan akal fikir manusia yang selalau dijejali dengan ingatan bahwa Dia maha besar sementara diri-sendiri serba lemah yang mematri pada pada akal bawah sadar, pada gilirannya akan membuat manusia, muslim tidak percaya diri, lemah dan kehilangan elen progresifnya di dalam membentuk perabadan[8].

Epistem Islam Kiri
“Dalam dunia tahid secara logis dapat ditarik pengertian bahwa penciptaan tuhan adalah esa. Ia menolak segala deskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, kelas, garis keturunan, kekayaam dam kekuasaam. Ia menempatkan manusia dalam kesamaan. Ia juga menyatukan antara manusia dan alam yang melengkapi penciptaan Tuhan.... Keesaan Tuhan berarti juga keesaan kehidupan manusia, yakni tidak ada pemisahan antara spiritualitas dan kewadagan, antara keagamaan dan keduniawiaan. Dengan memahami seluruh aspek kehidupan diatur oleh satu hukum, dan tujuan seluruh muslim bersatu dalam kehendak Allah.”[9]
Tesa sederhana ini memberikan gambaran adanya keharus-bersatuan di antara seluruh elimin kehidupan. Tidak hanya di antara manusia dengan manusia lainnya, tetapi juga antara Tuhan dan manusia. Sehingga dengan ini adanya logosentrisme barat secara sekaligus dapat dinafikan dan dimusnahkan seketika.
Islam Kiri adalah sebuah manefesto berbasis Islam yang dianggap sebagai ajaran sempurnah dari Tuhan kepada umat manusia. semua ajaran Muslim percaya bahwa ajaran Islam itu bersifat universal dan tidak bertentangan dengan rasio. Semua muslim berwajib membangun peradaban dengan berbekal kepercayaan itu. Ajaran tentang teologi/kalam tidak hanya diimani sebagai konsep ketuhan yang selama melangit. Teologi harus dapat dibawa turun kebumi dan meyentuh segala elemin kemanusiaan.[10]
Kiri Islam berdasarkan kemunculannya ingin kembali memulai peradaban baru yang bertitik tumpuh pada kebangkitan peradaban Islam berdasarkan semangat Theologi. Kiri Islam sebuah agenda perubahan dan kebangkitan kembali yang memosisikan diri mengajak kaum lemah, tertinggal. Islam dalam perspektif Kiri harus difahami bahwa Islam kembali pada titik kegoncangannya setelah kepergian Muhammad. Islam mulai tereduksi oleh berbagai genjatan senjata para perebut tahta khilafah, bandit-bandit politik, para pemikir muslim yang lebih mengedepankan status quo dan sektarian serta juga teradukkan dengan pola pikir passif pasca kekalahan Perang Dunia II. Sehingga untuk memulai peradaban baru maka diperlukan adanya memaknaan kembali terhadap Islam yang berdasarkan pada semangat dan spirit nilai keislaman, bukan lagi pada pengokohan doktrin taabbudi belaka. Sehingga kesimpulannya Islam pada hari ini adalah Islam yang jauh dari kata sempurnah.
Di dalam mewujudkan revolusi Islam (revolusi tauhid) Kiri Islam bertopang pada tiga pilar utama. Pertama, revitalitas khazanah Islam klasik. Berdasarkan pada fokus penelitiannya tentang agenda perubahan peradaban yang menggunakan alat analisa fenominologi, Hassa berkesimpulan bahwa Agama memiliki sumbangsih dominan di dalam menentukan peradaban manusia. Dan khazanah keislaman secara universal tidak ditemukan yang bertentangan satu sama salin. Maka dari itu kalau sejarah telah mewariskan khazanah keilmuan dan sistem keimanan maka hal yang demikian tidaklah menjadi baik kalau dihapuskan secara keseluruhan. melainkan harus ditafsiri kembali.Penafsiran yang tidakboleh merong-merong yang ada,akan tetapi harus lebih mengokohkan dan bersifat mebangun menuju progresifitas.
Khazanah keilmuan klasik mesti harus dihidupkan dengan perfoma wajah baru. Dalam hal ini Hassan mencontohkan dengan pelaksanaan ibadah shalat. Shalat selama ini hanya difahami sebagai kewajiban dan untuk memuhi suatu perintah yang bersifat qat’i. akan tetapi bagi Hassan Hanafi Shalat memberikan pelajaran tersendiri kepada manusia. Menghadap kiblat dan bersepakat di dalam warku yang sudah ditentukan, berati kewajiban adanya solidaritas dan kesamaan tujuan di dalam hidup yang bertitik pada perbaikan, bukan penindasan, perlawanan, skandalitas dan penjajahan. Wudlu’ dan mandi hadats tidak hanya memiliki arti menyucikan batin dalam rangka memenuhi persyaratan shalat, akan tetapi juga merupakan latihan kebersihan badaniah. Konstruksi bangunan masjid dan disyariatkannya berjamaah di dalam shalat Jam’t harus diartikan adanya rasa sosial yang tinggi dan berkumpul dengan orang lain.
Rasionalisasi sistem ibadah lain yang juga memberi banyak pelajaran adalah puasa. Puasa memberikan hikmah kebersamaan dan rasa bersepakat di dalam segala hal, sebagaimana di dalam bulan Ramadan yang semua muslim bersama-sama dan bersatu untuk merasakan lapar. Suatu perasaan yang mengingatkan manusia akan nasib rakyat miskin. Hal ini semua telah berbicara seputar ibadah-ibadah wajib yang bersifat fi’li (praktek badani). Begitu pula kalau sudah berbicara deminsi ajaran Islam yang bersifat kepercayaan seperti meyakini keesaan Tuhan dan kerasulan Muhammad di dalam Syahadat. Dengan merasionalisasikan ajaran Islam ini—apabila dapat dilakukan di dalam semua aspek ajaran Islam—maka akan tercipta apa yang disebut dengan dengan revitalisasi khazanah Islam klasik.
Kedua, perlunya menentang barat. Abad modern, adalah masa keemasan barat yang sampai saat ini masih belum bisa tergantikan dengan bangsa lain. Barat telah menanam benih-benih kebangkitanya mulai sejak abad ke XIV saat barat melakukan rekontruksi besar-besaran terhadap keilmuan dan penghidupan kembali terhadap budaya barat yang pernah tergerus ke dunia timur, Islam pada abat pertengahan. Selanjutnya pada abad ke XV dilakukan revormasi yang dilanjutkan dengan rasionalisme pada abad ke XVI. Di masa ini barat dengan besar-besaran malakukan pengembangan keilmuan dan ekspansi kedaerahan dengan melakukan sejumlah penjajahan ke belahan dunia timur. Penjajahan ini dilangsungkan hingga masa renaissance pada abad ke XVIII.
Di sela-sela penjajahan dan penguasannya terhadapa negara timur, barat menanamkan teror ideologi dengan mengaku dirinya sebagai negara adikuasa, negara terhebat yang menjadi pusat peradaban hingga abad ke XVIII yang disebut sebagai babakan ilmiah di kanca peradaban dunia. Pada masa ini keilmuan barat dan tehnologinya menjadi benar-benar mencapai puncak keemasannya hingga abad ke XIX dan XX di mana Islam kembali menyuarakan kebangkitan dan pembebasan dari ideologisasi barat.
Pada abad ini, Kiri Islam mendapat apresiasi untuk kembali memulihakan peradaban Islam dengan melakukan pemusnahan terhadap mitologi barat yang mengaku dirinya sebagai adikuasa. Maka dari itu gerakan oksidentalis perlu dikedepankan sebagai teori tandingan terhadap imperialisme barat. Barat harus segera ditelanjangi dan tidak lagi diterima sebagai pemangku kekuasaan dunia. Semua kalangan diposisikan sama. Hal ini Hassan senada dengan al-Afgani yang mengingatkan Islam akan kekejaman barat melalui erosentrisme kebudayaan timur.
Oksidentalis dimaksudkan untuk membongkar rahasia barat yang ttitik kekuatannya bertumpuh pada doktrinasi kekalahan timur dengan segala label yang diberikan, mulai label terbelakang hingga masyarakat kedua. Pemusnahan logosentrisme ini yang merupakan tugas utama Kiri Islam di dalam membentuk Islam sebagai pemangku peradaban dunia sesi ke-dua. Sebab kejahatan barat dengan deskreditasinya terhadap timur, menanamkan benih-benih pasimististis yang berkepanjangan. Maka dengan pemusnahan skat-skat ideologi ini, timur bisa kembali bangkit.
Usaha ketiga yang diusung Kiri Islam adalah melihat kembali realitas dunia Islam. Keberadaan Islam yang selama ini cendrung memahami Agama secara tesktual, perlu untuk juga melirik keberadaan konteks yang mengitarinya. Sehingga pemahaman dan praktek keberagamaan dapat difahami secara utuh, tidak parsial. Penafsiran kembali terhadap nash Qur’an dan hadits adalah suatu keniscayaan. Sehingga living qur’anic dan agama manusia tidak lagi hanya menjadi wacana belaka.
Pemahamanan kembali terhadap realitas dunia Islam juga diartikan untuk mengurangi ketegangan konflik sektarian yang ada di dalam Islam. Status quo dan sukuisme yang lama berkecamba harus segera diakhiri. Sebab selama menjadi Islam, selama itu pula masih saudara.
Dari sekian panjang pemaparan tentang gagasan pembaharuan Hassan Hanafi dapat ditarikkesimpulan bahwa terdapat tigal hal mendasar yang harus dilakukan Islam menuju dunianya yang lebih kosmopolita. Pertama, Islam tidak gagapbarat. Usaha ini ditandai dengan adanya oksidntalis sebagai tandingan  terhadap imperialism barat yang mampu membongkar metologi barat.
Usaha ke-dua, Islam harus melakukan rekontruksi pemikiran dan ajaranya. Pemahaman keagamaan klasik harus didekontruksi dan lalu dibangun kembali formasi keberagamaan yang memperhatikan perkembangan zaman. Sedang usaha yang ke-tiga adalah dengan memberi kesadaran internal terhadap pola pikir muslim yang cendrung menutup diri terhadap perkembangan dunia (menganggap final akan pemahana Agama yang ada) setelah kekalahannya kepada barat.   



[1] Parkins, John 2006, Cofission of an Economic Hit Man (terj.) Abdi tandur jakarta
[2] IMF diberlakukan setelah negara Indonesia menendatangani Articles of agrement¸ produk hukum dan ketentuan IMF pada tanggal 27 Desember 1945 yang di kemudian hari Amerika melucuti Articles yang dirumuskan dalam konfrensi internasional kala itu. Dalam tragedi Nixon Shock pada tanggal 15 Agustus 1971 Amerika menyatakan diri untuk tidak lagi menakar nilai tukar mata uangnya dengan harga mas. Selebihnya Amerika telah melakukan penyalahgunaan hak dan tanggung jawabnya kepada IMF dan bahkan ia mengambil keistimewaan sepihak ketimbang beberapa Negara lain. Ini yang menjadi sebab protes Prancis pada tahun 1968.
[3] Abdurrahman Wahid, 1994, “Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya” dalam sebuah pengantar buku Kiri Islam: antara modernisme dan post-modernisme, telaah kritis pemikiran Hassan Hanafi  karya Kazou Shimogaki, Yogyakarta, LKiS.
[4] E. Kusnadiningrat, Esai lepas Mahasiswa pascasarjana UIN Jakarta Hassan Hanafi: Islam Adalah Protes, Oposisi, dan Revolusi
[5] Perkembangan ini bisa kita lihat, di antaranya, dalam Hassan Hanafi, “al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi Fikrina al-Mu’ashir, dalam al-Azminat, III, 15 (1989).
[6] Seorang pemikir, Ahli filsafat, konsentrasi Interpretasi Teks yang menggagas Filsafat Fenominologi. Sebuah kajian atas fakta sosial yang pada titik konklusinya menghasilkan rumusan “apapun tergantung pada pola pikir”. Untuk lebih jelasnya bisa dilanjutkan membaca buku “Teori Interpretasi”, Paul Ricouere, Ircisod yang pernah diresensi oleh Ahmad Fairozi dalam Cendekia Edisi X, 21 Februari 2016 M.
[7] Concern kritik Hassan Hanafi terhadap al-ilahiyah, al-Mantiqiyahdan al-Thabi’iyah  yang disebutnya sebagai old fashion  teleh mendapat banyak counter critics dari ulamak pada masanya yang menggap Hassan Hanafi sebagai pelopor dekontruksi kemapanan tauhid di dalam Islam.
[8] Untuk lebih jelasnya dapat dilanjutkan mengkaji Falsafah Kalam Sosial, H.Muhammad In’an Isha, M. Ag.
[9] Tosio Kredo (ed) 1983 Islam Jiten, Tokyo Tokyodo Shuppan Hal 15
[10] FalsafahKalam Sosial,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here