Uang Saku - Sastri Pustaka

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Senin, 31 Oktober 2016

Uang Saku

“sisakan buat masa depanmu ya nak,”
Seraya mengelus-elus rambut kritingku Diana, mamaku menyodorkan selembar uang merah bergambar patti murah,Ia tidak pernah absen untuk membekaliku dengan sepuluh ribu rupiah uang kertas setiap Rabu pagi.Sepuluh ribu rupiah,,,ya benar, untuk anak seusiaku kala itu sudah terlalu mewah. Aku jadi bersemangat sekolah setiap hari baikku itu.Karena sudah pasti mamaku akan memberiku uang saku lebih banyak dari pada hari-hari yang lain, Sepuluh ribu rupiah.
Ya allah terimakasih!
Ibukubanget baik.
***
Dulu, kala 12 tahun masih lengket dalam jiwaku. Aku memang merupakan anak yang nakal dan malas  untuk bersekolah apalagi kalau jadwal materi Bahasa Ingris aku paling gak suka, ya entah kerana aku gak faham atau mungkin karena gurunya yang amat garang, dengan kumis tebal yang menyeramkanserta kulit hitam yang menjadi ciri hasnya.
Kala itu aku lagi duduk dibangku kelas VSDSuka Maju, Pekan Baru. Hari-hariku dipenuhi dengan bentakan mamaku yang mematikan kareakter katika memarahiku setiap pagi. Aku  juga gak tahu kenapa mamaku sangat bengis begitu. Mungkin karena ia adalah kepala keluarga sekaligus ibu rumah tangga. Karena semenjak ingatanku mulai berfungsi aku belum pernah sesekalimelihat Babapku.Kata Ibu Ia pergi merantau ke malaysia untuk mencari nafkah untukku dan ibu di rumah. Tapi kenapa sesekali Aku minta No. Hpnya untuk sekedar tanya kabar dan ngobati rasa rinduku ibu selalu bilang ‘jangan ganggu Bapakmu. Ia lagi berkerja untukmuDree’. Naif.
Pa, aku rindu kasih sayang Bapak, andai sampeyan masihbersamaku!!!
Tapi kenapa kalau Rabu datang, buka pintu di pagi hari Ibu gak pernah memarah-marahi Aku. Dan bahkan Ia memberiku uang saku yang lebih dari pada hari-hari yang lain. Aku juga gakfaham.Ini pasti ada yang gak beres, Ah!. Entahlah.
###
Disuatu saat yang tak sama, kala Aku baru mau menginjakkan kaki di kelas  II MTs aku dibelikan sebuah Motor mewah, Satria merknya. Untuk anak sekelasku saat itu, sepeda motor dengan gaya Ayam Jagosudah lebih dari hanya sekdar cukup. Apalagi bagi keluarga menengah kebawah sepertiku. Tak punya bapak lagi. Hefff ,,,
“Dree, sini,” Aku tercengan, tumben, mentari belum menampakkan wajahnya Ibuku sudah teriak-teriak memanggilku. Perlahan kulucuti selimut tidurku penuh malas. Kuangkat kaki menghampiri Ibu yang lagi tagak berdiri di amperan selatan bagian depan
“Dree, motor ini Ibu hadiahkan kepada Andree anak Ibu.Atas segala kenakalanmu Ibu ucapkan banyak terimakasih,” ujarnya sambil menunjukkanku kepada kendaraan roda dua bermerek Satria itu.Kebetulan waktu itu kalender menunjukkan hari Rabu. Aku semakin gag faham.
###
Relung wakktu terus berjalan. Bulan berganti bulan. Tahun sudah sering kali terkikis habis oleh masa. 5 tahun sudah kujalani menempuh hidup mandiri di negeri perantauan ini, PP. Yahya Wiyah Kwanyar Karang Anyar Bangkalan. Ibuku memasrahkanku pada seorang Kyai mulai sejak aku lulus MTs di kampung halaman. Sekalipun lakonnya sering kali tidak dimengerti seorang pun Ia masih menginginkanAku menjadi anak yang Soleih, Musleih, Muslahsebagimana lumrahnya.
Ia selalu memberiku uang saku yang jauh diluar jangkauan. Apalagi kalau hari Rabu, seperti biasa Ia mengirimkan 50.000 uang kertas kepada tetanggaku yang memasokkan gula aren ke tiap-tiap koprasi seluruh kawasan Pondok Pesantren. Anehnya berapa pun uang yang aku minta, kalau hari Rabu Ia tidak pernah mengatakn tidak.Aku semakin gak faham ihwal Ibuku yang semakin menggila.
Suatu saat aku pernah menyempatkan diri menanyakan prihal sikap Ibuku kepada Nyi Didi, kakak saudara bapakku yang biasa aku sebut Mak Nyai
“Ayahmu dulu berpesan ‘kalau Aku gak ada di rumah jangan pernah sesekali sakiti perasaannya, turuti apa yang ia minta, kalau soal uang minta saja dan langsung nilphon,’”
Sahut Nyi Didi penuh semangat. Nampaknya Ia berusaha meyakinkan apa yang Ia sampaikan kepadaku. Namun aurahnya membungkam, senyum-senyum sinis dengan mata kepala malirik kesamping membuat aku semakin curiga atas ulah merka. Aku sudah mulai merasa kalau seluruh keluargaku merahasikan sesuatu kepadaku. Entahlah, apa itu?
###
20/4/2011
Kala saat-saat tarahir tiba sebelum aku benar-benar berhenti mondok aku pernah mendapatkan rangking satu di kalas XII IPS 1. Aku bangga. Kali itu aku biasa membuat ibuku tersenyum, menggantikan kebenciannya terhadap kejengkelanmu dengan kebaggaan atas prestasiku. Wajar baru kala itu pertama dan terahir kalinya akumendapatkan rangking kelas.
“ma, andai bapaktau?”
Gumamku lirih hampir tak terdengar telingaku sendiri.
“Hemmm,,,”nafasnya terdesir keras dari hidung mamaku. Wajahnya pucat putih bagai orang yang baru mandi susu.
Aku puncuriga atas semua yang mama lakukan selam ini. Ia tak pernah merespon pertanyaankusetiap kali aku bertanya tentang keberadaan dan prihal bapakku. Ia terlalu sadis setiapkali berbicara, anker. Sukanya marah-marahdengan wawjah marah. Tapi kalau hari baikku datang ia selalu mambangga-mambanggakan aku dan  memberiku uang saku yang jauh lebih dari pada hanya sekedar cukup. Aneh tapi nyata.
Mulaisejak itu aku berusah mencari tahu tentang itu semua. Tapi kenapa sampai aku berhenti mondok aku belum mendapatkan jawaban pasti serta baik dan benar. Sesui dengan realita. Aku semakin termagu-magu ketika mamaku merayakan pesta ulang tahunku yang ke 23minggu lalu. Padahal sebagai modalnya ia berhutang kepada mak Ajji (ibu dari saudara tiriku). Aku sudah menceganya. Tapi mama bilang “ya kapan lagi klau buikan sekarang mama bahagiakan kamu. Bapakmu berpesan bahagiakan kamu, nak”
***
“Malang sekali nasib udin. Bapaknya sudah bergantung, bunuh diri 25 tahun silam, semenjak udin masih dalam kandungan. Gara-gara bertengkar dengan ibunya. Setelah udin kelas II MI Ibunya gila. Akibat gagal jadi pengemis. Pada waktu itu ia dimarah-marahi pak polisi. Makanya sampai sekarang ibunya sering marah-marah dan berbicara lantang. Naifnya ia selalu memanjakan udin dengan uang hasil hutangan. Sampai saat ini hutangnya lebih dua puluh juta. Kasihan! Harta peningglan ayahnya gak akan cukup membayar segala hutang-hutangnya itu,”
Terdengar perbincangan tetangaku tetang keluargaku dari balik rumah bambu sebelah kananrumahku. Aku mendegar betul kalau mereka membicarakanku, namaku Udin. Sekarang aku tahu kalau selama ini semuah keluargaku tega banget kapadaku. Ketika ditanya tentang ayahku mereka bilang merantau. Ibuku gila mungsar-mungsar. Hutangku pada mak Ajji lebih20 juta. Malangkolishambamu ini ya Allah.
* 30 Agutus 2014 M. jam 0.21 Komputer Muara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here